Namun, proses tersebut tidak hanya berupa pandangan, tetapi pengalaman terlibat dalam tarian yang memunculkan kepuasan meruang dan kegembiraan estetik.Â
Sampai dengan era 1980-an, untuk melampiaskan hasrat tersebut biasanya sebagian pengibing yang akan pergi ke tempat germo (tempat pelacuran)Â untuk melakukan hubungan seksual dengan tandhak yang diincar atau tandhak lain. Prostitusi germo sejak era 1990-an hingga saat ini sudah dilarang, baik di Lamongan, Tuban, maupun Nganjuk. Â
Dalam sistem patriarkal, di mana subjek laki-laki menempati posisi dominan untuk memandang objek perempuan, keberadaan tandhak/sindir/waranggono di kalangan dengan gemulai gerak tubuh dan pakaian sensual memang memberikan kesempatan untuk memapankan kuasa lelaki melalui atraksi kultural yang dilabeli kesenian rakyat berorientasi kesuburan.Â
Hal serupa juga terjadi di negara-negara lain, di mana sosok penari tidak hanya membawa misi kultural untuk menegosiasikan ketradisionalan ataupun komunalitas yang tetap dilangsungkan, tetapi menjadi objek pandangan yang 'dibiasakan untuk merelakan' tubuh dan gerakannya menjadi konsumsi penggemar dan penonton lelaki.Â
Hanna (1988: 30 & 56) menegaskan bahwa tari, baik yang bergaya ekspresif maupun komunikatif, bisa memediasi antara stimulus dan tanggapan seks. Tarian perempuan menghibur para lelaki yang memiliki ketertarikan seksual, melampauhi ketertarikan artistik. Budaya patriarkal memosisikan perempuan sebagai objek kepuasan lelaki; baik untuk kepentingan dilihat atau alat untuk digunakan.Â
Tari memang menjadi bentuk apresiasi, tetapi juga menjadi bentuk keintiman seksual, atau menggantikan keintiman tersebut. Di Timur Tengah, Cina, India, tari dipahami sebagai seni yang penting bagi perempuan untuk membuat senang para pengagumnya ataupun kekasihnya.Â
Atas kepentingan tersebut, tari yang dilengkapi tembang puitis dan musik seringkali menggambarkan episode-episode erotis. Tarian untuk kepentingan menghibur lelaki bisa ditemui, misalnya, dalam chi-nu (Cina), devadasi dan nautch (India), guina (Arab), kisaeng (Korea), motreb (Persia), dan shikhat (Maroko).
"Keintiman-tanpa-menyentuh" yang berlangsung dalam tarian tayub antara pengibing dan tandhak sebagai bentuk penertiban yang dilakukan oleh rezim negara sejak Orde Baru memang, pada akhirnya, mampu mengendalikan dan membatasi keliaran-keliaran imajinasi pihak pertama terhadap pihak kedua serta keberlanjutannya dalam transaksi seksual.Â
Namun, hal itu tidak mematikan imajinasi yang berujung pada rasa senang, gembira, dan puas dari para penayub ketika mereka bisa secara intim berada di kalangan, menarikan gerak tari yang pada masa lampau menjadi metafor kesuburan. Hal itulah yang menjadikan Kasturi dan banyak pengibing lainnya sampai rela menanggung hutang demi untuk bisa menari bersama tandhak.Â
Maka, ikatan emosional dan rasa senang para pengibing ikut berkontribusi bagi daya-hidup tayub, karena dengan mereka tetap menggemari dan terlibat dalam pertunjukan, tayub akan tetap ada dan para senimannya (tandhak, pengrawit, dan pramugari) tetap bisa menunjukkan kebolehan estetik mereka serta mendapatkan imbalan dalam bentuk rupiah.Â