Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Daya-Hidup Tayub: Penggemar dan Seniman sebagai Subjek

19 Januari 2023   08:02 Diperbarui: 19 Januari 2023   15:42 1558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pengibing (tukang bekso) muda menari bersama tandhak dalam pertunjukan tayub di Sambiroto, Lamongan. Dokumentasi penulis

Namun, proses tersebut tidak hanya berupa pandangan, tetapi pengalaman terlibat dalam tarian yang memunculkan kepuasan meruang dan kegembiraan estetik. 

Sampai dengan era 1980-an, untuk melampiaskan hasrat tersebut biasanya sebagian pengibing yang akan pergi ke tempat germo (tempat pelacuran) untuk melakukan hubungan seksual dengan tandhak yang diincar atau tandhak lain. Prostitusi germo sejak era 1990-an hingga saat ini sudah dilarang, baik di Lamongan, Tuban, maupun Nganjuk.  

Para tandhak menemani para tukang bekso dalam tayuban di Lamongan. Dokumentasi penulis
Para tandhak menemani para tukang bekso dalam tayuban di Lamongan. Dokumentasi penulis

Dalam sistem patriarkal, di mana subjek laki-laki menempati posisi dominan untuk memandang objek perempuan, keberadaan tandhak/sindir/waranggono di kalangan dengan gemulai gerak tubuh dan pakaian sensual memang memberikan kesempatan untuk memapankan kuasa lelaki melalui atraksi kultural yang dilabeli kesenian rakyat berorientasi kesuburan. 

Hal serupa juga terjadi di negara-negara lain, di mana sosok penari tidak hanya membawa misi kultural untuk menegosiasikan ketradisionalan ataupun komunalitas yang tetap dilangsungkan, tetapi menjadi objek pandangan yang 'dibiasakan untuk merelakan' tubuh dan gerakannya menjadi konsumsi penggemar dan penonton lelaki. 

Hanna (1988: 30 & 56) menegaskan bahwa tari, baik yang bergaya ekspresif maupun komunikatif, bisa memediasi antara stimulus dan tanggapan seks. Tarian perempuan menghibur para lelaki yang memiliki ketertarikan seksual, melampauhi ketertarikan artistik. Budaya patriarkal memosisikan perempuan sebagai objek kepuasan lelaki; baik untuk kepentingan dilihat atau alat untuk digunakan. 

Tari memang menjadi bentuk apresiasi, tetapi juga menjadi bentuk keintiman seksual, atau menggantikan keintiman tersebut. Di Timur Tengah, Cina, India, tari dipahami sebagai seni yang penting bagi perempuan untuk membuat senang para pengagumnya ataupun kekasihnya. 

Atas kepentingan tersebut, tari yang dilengkapi tembang puitis dan musik seringkali menggambarkan episode-episode erotis. Tarian untuk kepentingan menghibur lelaki bisa ditemui, misalnya, dalam chi-nu (Cina), devadasi dan nautch (India), guina (Arab), kisaeng (Korea), motreb (Persia), dan shikhat (Maroko).

"Keintiman-tanpa-menyentuh" yang berlangsung dalam tarian tayub antara pengibing dan tandhak sebagai bentuk penertiban yang dilakukan oleh rezim negara sejak Orde Baru memang, pada akhirnya, mampu mengendalikan dan membatasi keliaran-keliaran imajinasi pihak pertama terhadap pihak kedua serta keberlanjutannya dalam transaksi seksual. 

Namun, hal itu tidak mematikan imajinasi yang berujung pada rasa senang, gembira, dan puas dari para penayub ketika mereka bisa secara intim berada di kalangan, menarikan gerak tari yang pada masa lampau menjadi metafor kesuburan. Hal itulah yang menjadikan Kasturi dan banyak pengibing lainnya sampai rela menanggung hutang demi untuk bisa menari bersama tandhak. 

Maka, ikatan emosional dan rasa senang para pengibing ikut berkontribusi bagi daya-hidup tayub, karena dengan mereka tetap menggemari dan terlibat dalam pertunjukan, tayub akan tetap ada dan para senimannya (tandhak, pengrawit, dan pramugari) tetap bisa menunjukkan kebolehan estetik mereka serta mendapatkan imbalan dalam bentuk rupiah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun