Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Daya-Hidup Tayub: Penggemar dan Seniman sebagai Subjek

19 Januari 2023   08:02 Diperbarui: 19 Januari 2023   15:42 1558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pengibing (tukang bekso) muda menari bersama tandhak dalam pertunjukan tayub di Sambiroto, Lamongan. Dokumentasi penulis

Artinya, selain sebagai kebanggaan sosial, pertunjukan tayub tetap digemari karena para 'ekspatriat lokal' membutuhkan sebuah ikatan komunal yang harus terus dipelihara agar mereka tetap terhubung dengan ke-Jawa-an desa tempat kelahiran, meskipun sudah tidak lagi utuh. 

Desa selalu menjadi situs spasial untuk kembali di saat mereka meyarakan Lebaran, sedangkan tayub menjadi situs kultural yang akan selalu membawa mereka ke dalam ke-Jawa-an yang semakin lama semakin pudar oleh gerak cepat modernitas dan syiar Islam. 

Dalam konteks itulah, menjadi wajar kiranya ketika para penggemar tayub, khususnya para juragan soto Lamongan, terus berpartisipasi dalam acara tayuban-nyadran. Mereka berusaha menemukan-kembali dan memaknai-ulang ke-Jawa-an yang telah berubah.

Kemampuan Adaptasi-kreatif Seniman Tayub

Salah satu karakteristik kesenian tradisional yang mampu survive di tengah-tengah perubahan selera kultural masyarakat adalah kemampuan para seniman/wati-nya untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan tersebut. Mereka bisa menyerap secara selektif aspek-aspek pertunjukan yang tengah digemari masyarakat. 

Ketika pada era 2000-an dangdut koplo menjadi trend kultural di masyarakat Jawa Timur, para panjak tayub pun melakukan adaptasi dengan memasukkan ketipung koploan di tengah-tengah gending yang sedang didendangkan. Para tandhak pun akan menari tidak dengan gaya yang sangat pakem, tetapi dengan gaya egolan-pinggul untuk mengikuti rancak musik koplo. 

Meskipun demikian, para panjak tidak memasukkan instrumen seperti gitar, bass, maupun kibor ke dalam garapan mereka. Pada awal gending, mereka masih memainkan instrumen gamelan. Pada tengah gending (reff) biasanya ketipung koploan baru dimasukkan dan membaur dengan instrumen lainnya.

Bagi sebagian pengibing senior yang terbiasa dengan tarian dan gendhing pakem gamelan, masuknya estetika koplo ke dalam pertunjukan tayub, meskipun hanya di-insert-kan di tengah-tengah gending pakem, bisa menggangu estetika tayub itu sendiri. Khamit yang sejak masa mudanya sudah menjadi pengibing menuturkan:

"Tayuban zaman sekarang tidak mengandalkan tari-nya. Kalau zaman saya muda, kemampuan mengimbangi tarian tandhak menjadi kebanggaan tersendiri. 

Sekarang, sudah tidak berlaku lagi. Kebanyakan koploan-nya, sekedar megal-megol. Bagi orang-orang seusia saya, jadi kurang menarik. Tapi, ya, gimana lagi. Anak-anak muda memang lagi gemar sama koplo. Terus kalau ndak gitu, mereka selamanya akan takut untuk bekso." (Wawancara, 3 Agustus 2014)

Meskipun mendapatkan kritik dari para pengibing senior yang sudah terbiasa dengan pakem gending gamelan, masuknya koploan hanyalah strategi kreatif untuk menangkap pergeseran selera estetik masyarakat, khususnya generasi muda. Pilihan transformatif ini memang tidak bisa dihindari. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun