Artinya, selain sebagai kebanggaan sosial, pertunjukan tayub tetap digemari karena para 'ekspatriat lokal' membutuhkan sebuah ikatan komunal yang harus terus dipelihara agar mereka tetap terhubung dengan ke-Jawa-an desa tempat kelahiran, meskipun sudah tidak lagi utuh.Â
Desa selalu menjadi situs spasial untuk kembali di saat mereka meyarakan Lebaran, sedangkan tayub menjadi situs kultural yang akan selalu membawa mereka ke dalam ke-Jawa-an yang semakin lama semakin pudar oleh gerak cepat modernitas dan syiar Islam.Â
Dalam konteks itulah, menjadi wajar kiranya ketika para penggemar tayub, khususnya para juragan soto Lamongan, terus berpartisipasi dalam acara tayuban-nyadran. Mereka berusaha menemukan-kembali dan memaknai-ulang ke-Jawa-an yang telah berubah.
Kemampuan Adaptasi-kreatif Seniman Tayub
Salah satu karakteristik kesenian tradisional yang mampu survive di tengah-tengah perubahan selera kultural masyarakat adalah kemampuan para seniman/wati-nya untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan tersebut. Mereka bisa menyerap secara selektif aspek-aspek pertunjukan yang tengah digemari masyarakat.Â
Ketika pada era 2000-an dangdut koplo menjadi trend kultural di masyarakat Jawa Timur, para panjak tayub pun melakukan adaptasi dengan memasukkan ketipung koploan di tengah-tengah gending yang sedang didendangkan. Para tandhak pun akan menari tidak dengan gaya yang sangat pakem, tetapi dengan gaya egolan-pinggul untuk mengikuti rancak musik koplo.Â
Meskipun demikian, para panjak tidak memasukkan instrumen seperti gitar, bass, maupun kibor ke dalam garapan mereka. Pada awal gending, mereka masih memainkan instrumen gamelan. Pada tengah gending (reff) biasanya ketipung koploan baru dimasukkan dan membaur dengan instrumen lainnya.
Bagi sebagian pengibing senior yang terbiasa dengan tarian dan gendhing pakem gamelan, masuknya estetika koplo ke dalam pertunjukan tayub, meskipun hanya di-insert-kan di tengah-tengah gending pakem, bisa menggangu estetika tayub itu sendiri. Khamit yang sejak masa mudanya sudah menjadi pengibing menuturkan:
"Tayuban zaman sekarang tidak mengandalkan tari-nya. Kalau zaman saya muda, kemampuan mengimbangi tarian tandhak menjadi kebanggaan tersendiri.Â
Sekarang, sudah tidak berlaku lagi. Kebanyakan koploan-nya, sekedar megal-megol. Bagi orang-orang seusia saya, jadi kurang menarik. Tapi, ya, gimana lagi. Anak-anak muda memang lagi gemar sama koplo. Terus kalau ndak gitu, mereka selamanya akan takut untuk bekso." (Wawancara, 3 Agustus 2014)
Meskipun mendapatkan kritik dari para pengibing senior yang sudah terbiasa dengan pakem gending gamelan, masuknya koploan hanyalah strategi kreatif untuk menangkap pergeseran selera estetik masyarakat, khususnya generasi muda. Pilihan transformatif ini memang tidak bisa dihindari.Â