Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tayub dalam Ritual Desa: Siasat Transformatif untuk Daya-Hidup

18 Januari 2023   00:15 Diperbarui: 18 Januari 2023   00:12 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalan

Banyak pakar berpendapat bahwa kesenian rakyat tengah mengalami proses menuju kepunahannya. Demikian pula banyak berita di media yang mengkhawatirkan kepunahan salah satu aset budaya bangsa tersebut. 

Tak pelak lagi, semakin massifnya pengaruh budaya populer-industrial di tengah-tengah masyarakat desa sebagai penyangga utama kesenian rakyat diyakini sebagai faktor utama yang mendorong proses kepunahan tersebut. 

Selain itu, semakin gencarnya syiar agama mayoritas, seperti Islam, ke dalam ruang kultural masyarakat desa ikut pula berkontribusi terhadap kepunahan yang banyak diratapi tersebut. Ketidaksesuaian tradisi dalam pertunjukan kesenian rakyat dengan ajaran-ajaran Islam menjadi penyebab utama lahirnya wacana-wacana stigmatik yang diberikan oleh para pemuka agama. 

Meskipun berada di tengah modernitas dan syiar agama, tayub terbukti masih bertahan dengan banyak penggemar, dari anak-anak, generasi muda, hingga orang dewasa; dari laki-laki hingga perempuan, termasuk juga mereka yang berorientasi pada transjender. Tayub, nyatanya, memiliki daya-hidup yang lebih liat dan kuat dibandingkan kesenian-kesenian lainnya.

Tayub dan Ritual Desa

Meskipun diposisikan sebagai kesenian yang banyak mengandung unsur profan, nyatanya, masih banyak warga masyarakat yang menggemari tayub. Di Lamongan, Tuban, Bojonegoro, dan Nganjuk, pagelaran tayub masih bisa ditemui dengan mudah pada saat ritual bersih desa ataupun hajatan keluarga. 

Bagi mereka, tayub sudah diposisikan sebagai identitas kultural yang harus dipertahankan dan dilestarikan di tengah-tengah gelombang besar peradaban modern dan Islam yang menjadi sangat dominan. Wacana tentang fungsi sakral tayub dalam ritual masih dimobilisasi para penggemarnya. 

Dengan menggunakan argumen tayub sebagai budaya tradisi, para penggemar bisa mengkonstruksi wacana tandingan terhadap wacana-wacana yang diproduksi oleh kaum agamawan. Artinya, kesakralan dan ketradisionalan bukan lagi digunakan semata-mata untuk membentuk identitas tradisional, tetapi sebagai siasat dan jawaban strategis untuk melawan stigmatisasi yang berlangsung. 

Penggunaan wacana ketradisionalan tayub merupakan siasat liat para penggemar terhadap tentangan sosial terhadap aktivitas profan yang berlangsung dalam pertunjukan. Dengan mengatakan tayub sebagai budaya leluhur, permintaan para dhanyang penjaga desa, dan identitas komunal, gugatan kaum agamawan terhadap ke-profan-an tayub bisa sedikit diredam.

Pemertahanan ritual bersih desa yang pada sebagian wilayah di Jawa Timur mensyaratkan pagelaran tayub sedikit banyak ikut berkontribusi terhadap penerimaan kesenian ini di masyarakat. 

Konstruksi wacana yang dikedepankan oleh para sesepuh desa dan para penggemar relatif tidak berbeda dari masa Orba, yakni pertunjukan tayub menjadi syarat yang diminta oleh para dhanyang desa/dusun agar doa warga bisa terkabulkan. 

Ini bukan dimaksudkan untuk melakukan tindakan syirik, tetapi para ruh penjaga desa itu dianggap sebagai perantara antara keinginan manusia dan kehendak Tuhan. Pemahaman ini merupakan warisan dari keyakinan religi dari masa kerajaan pra-Islam. 

Meskipun memiliki pemahaman demikian, warga desa yang biasa nyadran (ritual bersih desa di Lamongan) dengan nanggap tayub masih mendapatkan tentangan dari para pemuka agama, baik yang berafiliasi ke Muhammadiyah maupun NU. 

Dalam banyak kesempatan kutbah maupun pengajian, mereka menjustifikasi nyadran sebagai bentuk takhayul dan syirik yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam dosa tak terampuni. 

Ditambah lagi dengan pertunjukan tayub yang dikatakan mengumbar maksiat karena dandanan dan gerak erotis para tandhak serta keberadaan minuman keras. Semua klaim atas dosa pertunjukan tayub memang bisa dibenarkan apabila dilihat dari kacamata agama. 

Masalahnya adalah semua doktrin keagamaan terkait nyadran dan tayub masih belum mampu mengubah dan meniadakan keyakinan sebagian besar warga terhadap pentingnya kedua acara tersebut dalam tindakan kosmologis mereka. 

Para pengibing menari bersama tandhak dalam pertunjukan tayub di Lamongan. Dokumentasi penulis
Para pengibing menari bersama tandhak dalam pertunjukan tayub di Lamongan. Dokumentasi penulis

Jadi, meskipun mereka bersembahyang dan mengikuti pengajian di masjid, masih ada keengganan untuk meniadakan nyadran dan tayuban dari ruang kultural desa. Inilah bentuk kompleksitas kultural desa dalam kaitannya dengan agama. 

Keinginan untuk terus melanjutkan ritual bersih desa dengan tayubnya tidak menjadikan sebagian warga untuk enggan pergi ke masjid. Sebaliknya, ketaatan untuk mengikuti syariat agama tidak menjadikan mereka melupakan bahwa ada warisan nenek moyang yang mesti dijaga keberlangsungannya.

Keinginan untuk tidak memunculkan ketegangan dan konflik berlanjut sebagai akibat perbedaan pemahaman tersebut memunculkan siasat berupa apropriasi sebagian ajaran Islam ke dalam praktik ritual nyadran. Sebagian besar ritual bersih desa di Lamongan sudah memasukkan doa-doa Islam sebagai pengantar. 

Menariknya, di Dusun Sambiroto, Kecamatan Sugio, Lamongan, pada acara slametan bersama yang diselenggarakan pada malam sebelum pertunjukan tayub, modin (pemimpin keagamaan) memimpin doa dan tahlil yang ditujukan untuk arwah pendiri desa. 

Ini dilakukan agar Tuhan memberikan limpahan rahmat dan rezekinya kepada warga desa; baik dalam kerja-kerja pertanian maupun kerja-kerja di sektor wiraswasta. 

Kalau di beberapa wilayah lain acara slametan dilakukan di pedhayangan, di dusun ini acara dilaksanakan di halaman sebuah sekolah dasar. Hasil uang yang dikumpulkan dari wajib (uang sodaqoh untuk slametan) dibagi rata; untuk takmir dua masjid (NU dan Muhammadiyah) dan panitia. 

Politik apropriasi (menerima dan menyesuaikan budaya lain secara kontekstual) yang dilakukan oleh panitia nyadran dan tayuban terhadap praktik ke-islam-an menegaskan keterbukaan pola pikir dan praksis yang bertujuan untuk mempertahankan sebagian identitas Jawa di tengah-tengah dominasi wacana dan praksis keagamaan yang tengah berlangsung. 

Paling tidak, dengan cara demikian, tegangan dikotomis antara kekuatan agamis dan sekuler bisa sedikit diredam, meskipun tidak bisa dihilangkan sepenuhnya. Para tokoh agama tetap tidak bisa menerima, misalnya, tradisi menenggak minuman beralkohol.

Memang, di zaman Reformasi ini, sudah banyak wacana yang mencoba untuk menjernihkan tegangan antara tradisi-yang-dipandang-negatif dari pertunjukan tayub dalam ritual komunal-desa maupun ritual keluarga dengan cara pikir tokoh-tokoh agama. 

Sebagian besar dari mereka meyakini bahwa pertunjukan tayub tidak harus selalu dipandang dalam kerangka negatifnya, karena, senyatanya, terdapat aspek-aspek sakral yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat agraris. Logika agraris-tradisional kembali dimobilisasi ditambahi dengan pemikiran kontemporer untuk meng-counter pandangan stigmatik terhadap tayub dan ritual. 

Wicaksono (2012) menuturkan bahwa tayub selalu digelar dalam ritual bersih desa di Dusun Sumbermuneng, Desa Joho, Kecamatan Pace, Nganjuk. Warga desa menyelenggarakan bersih desa memang tak lama setelah hari raya Idul Fitri. Alasannya, adalah sebagai ucapan syukur, karena telah diberikan keselamatan selama kehidupan mereka. 

Untuk bersih desa di wilayah Sumbermuneng, dipusatkan di sendang (telaga) yang dipercaya keramat oleh warga. Dari sendang itulah warga bisa mendapatkan air bersih serta menghidupi ternak maupun sawah mereka. Entah bagaimana asal mulanya, pagelaran seni tayub wajib dilakukan. 

Jika tidak, warga percaya akan terjadi sesuatu hal di kampung mereka. Sesepuh desa menerangkan dulu pernah diganti wayang kulit, tetapi setelah itu, hasil pertanian warga gagal total, karena pagebluk. 

Tayub sebagai persembahan untuk leluhur, ditafsirkan bahwa manusia percaya bahwa mahluk halus menempati alam sekeliling tempat tinggalnya. Mahluk halus tersebut, menjadi obyek penghormatan yang disertai berbagai ritual berupa doa, dan sajian. Bagi masyarakat Jawa, menjaga keharmonisan alam dan pengucapan syukur atas apa yang telah diberikan alam harus dilakukan. 

Apalagi dalam kehidupan masyarakat jawa, semuanya bermula dari alam. Misalnya saja, mata pencaharian mereka, mulai dari petani dan peternak, semuanya memiliki kaitan sangat erat dengan alam. Dari alamlah, anak cucu mereka bisa merasakan kehidupan. 

Nalar kosmologis-tradisional-agraris dalam tuturan tersebut bisa diidentifikasi melalui: (1) waktu dan tempat pelaksanaan ritual bersih desa; (2) pertunjukan tayub sebagai kewajiban tak terbantahkan; (3) penghormatan terhadap makhluk halus; dan, (4) keharmonisan hubungan dengan alam. 

Dari keempat aspek tersebut, apa yang tampak jelas adalah usaha untuk memasukkan pandangan dunia masyarakat sebagai kebenaran kontekstual. Waktu pelaksanaan selepas Idul Fitri, sepertihalnya di desa-desa di Lamongan, bisa dibaca sebagai usaha untuk mendekatkan ritual dan tayub dengan tradisi Islam yang sudah menjadi agama mayoritas di desa. 

Alasan rasa syukur karena telah diberi keselamatan oleh Tuhan memperkuat makna religi yang sejak dulu direprensetasikan melalui praktik slametan oleh warga desa. Sementara, ajaran Islam sendiri mengajarkan hal serupa, meskipun tidak harus dalam bentuk ritual bersih desa. Sendang dusun dipilih sebagai tempat pelaksanaan ritual dan tayub karena keramat. 

Istilah "keramat" merupakan pandangan tipikal masyarakat agraris untuk menandai tempat/lokasi yang diyakini dihuni makhluk ghaib. Namun, berita di atas sekaligus memberikan penegasan kontekstual bahwa sendang tersebut menjadi sumber air yang sangat penting bagi kehidupan warga. 

Artinya, terdapat usaha untuk menghubungkan pengekeramatan sendang dengan fungsi praktisnya bagi masyarakat. Pengkeramatan tersebut bisa dibaca sebagai sebuah kesengajaan agar sumber air yang menjadi sumber kehidupan bagi warga tetap terjaga.

Apa yang menjadi missing link adalah kewajiban untuk nanggap tayub sebagai rangkaian ritual di sendang. Para peneliti memosisikan idealisasi kesuburan yang dilekatkan sebagai doa masyarakat dalam pelaksanaan ritual terwakili oleh makna simbolik gerak tayub yang mempertemukan lelaki dan perempuan. 

Selain itu, tandhak (penari) dan gending-gending tayub bisa menjadi perantara yang menghubungkan manusia dan kekuatan ghaib yang diharapkan akan menyampaikan doa-doa warga dusun kepada Sang Pencipta. Ritual bersih desa, dengan demikian, menjadi doa komunal akan datangnya keselamatan dan kemakmuran selama warga menjalani kehidupan. 

Menurut saya, kewajiban menggelar pertunjukan tayub lebih sebagai bentuk persembahan untuk menyenangkan arwah yang dianggap sebagai penunggu desa, sehingga mereka akan bahagia dan mau menyampaikan doa-doa komunal terkait kemelimpahan rezeki dan kesalamatan warga kepad Tuhan Yang Maha Kuasa. Jadi, bukan berarti arwah tersebut disembah. 

Meskipun demikian, nalar kosmologis masyarakat lebih ditekankan kepada aspek empirik bahwa ketika tidak menggelar pertunjukan tayub akan terjadi hal-hal yang buruk, seperti gagal panen maupun banyak warga yang terserang sakit yang di luar kewajaran. 

Kalau kita memakai nalar empirik tersebut sebagai kebenaran agraris, maka semua itu menjadi mungkin karena arwah enggan menyampaikan doa tersebut ke Sang Pencipta.

Argumen untuk menjaga keharmonisan dengan alam (sendang dusun dan arwah penunggu) merupakan tafsir ekologis-lokal yang sebenarnya bisa menjadi kekuatan komunal yang bisa terus dimobilisasi sebagai usaha konstruktif untuk menjaga relasi mikrokosmos dan makrokosmos. 

Tafsir ekologis inilah yang pada masa kini banyak dimunculkan oleh para pegiat lingkungan. Dan, ternyata Mbah Ri, sebagai tokoh pinisepuh dusun, juga memiliki tafsir serupa. Ini menunjukkan mulai dikembangkannya kesadaran ekologis sebagai muatan tak terbantahkan dari pelaksanaan ritual bersih desa. 

Logikanya sederhana. Sendang dikeramatkan dan di-slameti setiap tahun agar muncul kesadaran warga untuk memelihara kelestariannya. Penceritaan dan penghormatan terhadap arwah leluhur penunggu sendang menjadi mekanisme lokal agar warga takut untuk melakukan tindakan-tindakan yang bisa merusak sumber air di sendang tersebut. 

Bisa dibayangkan ketika warga sudah tidak takut lagi untuk membuat kerusakan, seperti menebang pohon besar yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya arwah, sumber air di sendang akan habis dan mereka sendiri akan menanggung akibat buruknya. 

Dalam konteks yang lebih luas, kenyataan semakin beraninya manusia menggunakan nalar rasional dan ekspansionis mereka untuk membabat pohon-pohon besar tanpa rasa takut terhadap eksistensi para arwah penghuni dan penjaga ikut berkontribusi pada terjadinya bencana banjir dan tanah longsor.

Pengetahuan dan kekuatan ekologis masyarakat lokal itulah yang pada masa kini menjadi perhatian para aktivis dan pemikir ketika mereka mencoba untuk mengelaborasi gagasan-gagasan penyelamatan lingkungan. Terkait dengan kecenderungan tersebut, Wicaksono (2012) memaparkan dalam kajian kontemporer, hal itu relevan dengan konsep ecoliteracy-nya Fritjof Capra. 

Menurut Capra, dalam kehidupan modern, masalah ekologi menjadi masalah yang krusial. Paradigma dalam memanfaatkan alam perlu diubah menjadi paradigma bersatu dengan alam. Cara pandang yang menganggap alam sebagai objek menjadikan eksploitasi berjalan secara tak terkendali yang memunculkan kerusakan ekologi. 

Artinya, adalah keselarasan hidup antara manusia dan alam perlu dijaga secara utuh. Manusia yang menghargai alam memang semakin sedikit. Namun, setidaknya dengan budaya yang turun temurun ini, bisa membentuk paradigma Hamemayu Hayuning Buwana. Di mana setiap manusia sesuai kodratnya sebagai makhluk bermartabat, mempunyai tujuan hidup untuk membuat dunia semakin cantik.

Penghadiran konsep ecoliteracy di tengah-tengah wacana ekologis masyarakat dusun, dalam hal ini warga Sumbermuneng, merupakan usaha diskursif untuk menegaskan bahwa pemikiran wong ndeso tidak jauh berbeda dengan pemikiran orang Barat dalam memandang krisis lingkungan. 

Apa yang harus diperhatikan adalah pemahaman warga desa tidak lahir dari krisis ekologis, tetapi lahir dari kesadaran resiprokal antara jagat cilik "manusia" dan jagat gedhe "alam semesta dan segenap isinya." 

Ketika para pemikir dan aktivis Barat tergagap-gagap memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk menyelamatkan lingkungan dari kerakusan nalar tanpa-batas manusia modern, masyarakat desa di tengah-tengah modernitas dan stigma agama mayoritas memiliki kekuatan komunal-konvensional berupa ritual ruwat/bersih desa yang telah dijalankan turun-temurun. 

Ketika para pemikir Barat menoleh ke keberaksaraan dan kesadaran ekologis sebagai jawaban, masyarakat Sumbermuneng sudah lama memiliki mekanisme tersebut.

Namun, pemahaman terkait relasi tayub, ritual bersih desa, dan kesadaran ekologis, bukanlah kebenaran bagi para pemuka agama yang sudah terlanjur membuat batas tegas antara dogma agama dan kesyirikan tradisi yang masih berbalut animisme tersebut. Apalagi pemahaman ekologis terkesan menjadi wacana eksklusif milik para intelektual.

Akibatnya, distribusi nilai-nilai kontekstual dari pertunjukan tayub dalam ritual nyadran tidak mampu menembus sekat-sekat yang sudah semakin kuat dari agama-vs-tradisi. Ditambah dengan pertunjukan tayub, sekat tersebut semakin menguat. 

Sekali lagi, pilihan untuk tidak menggelar tayub lebih dikarenakan praktik tarian dan pakaian yang dianggap mengumbar aurat dan membangkitkan erotisme serta tradisi menenggak minuman beralkohol yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam. 

Meskipun banyak peneliti dan pemerhati mengatakan bahwa terdapat nilai-nilai luhur dalam gerakan para tandhak, tetap saja hal itu tidak dikehendaki oleh para pemuka agama. 

Implikasi lanjutnya adalah polarisasi antara yang kelompok masyarakat yang pro-ritual-bersih-desa-dengan-tayuban dan pro-ritual-desa-tanpa-tayuban menjadi warna dari friksi orientasi dan keyakinan religi yang berlangsung di desa. 

Hal yang membuat kedua kelompok tersebut sama adalah diadopsinya doa-doa Islam dalam ritual bersih desa, baik nyadran di Lamongan maupun manganan di Tuban, meskipun masih ada sebagian mantra berbahasa Jawa yang dibacakan oleh tokoh desa.

Dari praktik ritual-bersih-desa-dengan-tayub bisa dilihat adanya usaha untuk melampaui hitam-putih dogma agama. Para pendukung kelompok ini sangat paham bahwa ritual bersih desa saja ditentang oleh para pemuka agama berorientasi purifikasi, apalagi ditambah pertunjukan tayub yang jelas-jelas menghadirkan praktik estetik dan kebiasaan minum minuman beralkohol. 

Seperti dalam kasus di Dusun Sambiroto, Lamongan, para warga masih bertahan dengan tradisi tayuban dalam nyadran, meskipun mereka sangat sadar bahwa tidak semua yang mengikuti ritual nyadran bersepakat untuk tayuban. Dua kutub, kesakralan dankeprofanan dileburkan (saling melampaui batas) dan dibiarkan berhadap-hadapan dengan keyakinan agama mayoritas. 

Wacana konsensual yang dipelihara oleh warga desa pendukung nyadran-dengan-tayuban adalah "agama ya agama, tradisi ya tradisi." Wacana tersebut sekaligus menjadi "benteng pertahanan terakhir" ketika mulai muncul gugatan para pemuka agama atau tokoh-tokoh tertentu yang melabeli "nyadran-dengan-tayuban sebagai haram." 

Kecintaan terhadap pertunjukan tayub dan ketakutan akan datangnya bencana apabila ritual bersih desa tidak menyelenggarakan tayub merupakan alasan utama berkembangnya wacana tersebut hingga saat ini. Kalaupun dalil-dalil agama diposisikan sebagai kebenaran, ternyata mereka mengalami dekonstruksi karena sebagian besar warga pendukung tayuban adalah jamaah masjid. 

Artinya, dalam mengamini kebenaran agama, mereka masih menyisakan sedikit ruang bagi berkembangnya kecintaan dan hasrat untuk terus melanjutkan tradisi bersih desa dan tayuban.

Paling tidak, sekali lagi, proses memasukkan doa-doa Islam ke dalam ritual bersih desa yang diselenggarakan sebelum pertunjukan tayub, menegaskan penerimaan dan adaptasi secara sengaja oleh warga desa sebagai bentuk siasat transformatif terhadap dominasi agama mayoritas dalam kehidupan mereka. 

Meskipun demikian, doa dalam bentuk mantra Jawa masih dilafalkan oleh tokoh pinisepuh desa, agar identitas mereka sebagai orang Jawa tetap tampak. 

Siasat transformatif juga dilakukan oleh warga Tuban dalam menggelar manganan, bersih desa di Tuban dengan makan bersama di makam leluhur/pedhanyangan dusun, yang memasukkan doa-doa Islam tanpa meninggalkan tradisi Jawa.

Waluyo (2012) menuturkan bahwa bagi desa-desa yang menggelar manganan dengan pola lama, doa-doa dipimpin oleh juru kunci makam dengan perpaduan bahasa Arab (Islam) dan Jawa. Selain memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Kanjeng Rasul Muhammad SAW, juru kunci makam juga menyertakan nama-nama sesepuh desa yang telah meninggal dan danyang-danyang desa. 

Doa bersama dibarengi dengan menaruh kemenyan (dupa) dan sesaji di tempat-tempat yang oleh warga desa dianggap keramat. Sebelum ritual manganan dimulai, warga desa yang kebanyakan kaum perempuan, berduyun-duyun datang ke lokasi manganan. Mereka datang dengan membawa nasi, lauk pauk, dan jajanan pasar. 

Semua makanan yang dibawa oleh para perempuan itu dikumpulkan di satu tempat, biasanya di altar pemakaman yang cukup luas. Setelah juru kunci makam memanjatkan doa-doa dan menaruh sesaji di lokasi danyang-danyang, acara makan bersama dimulai. 

Makanan yang dibawa oleh masing-masing orang, dipertukarkan satu sama lain sehingga bisa merasakan beragam jenis makanan yang dibawa oleh masing-masing warga. Mereka makan bersama secukupnya di pelataran makam. Sisa makanan mereka bawa pulang untuk bekal makan seharian penuh. Malam harinya, digelar tayuban sebagai rangkaian ritus manganan. 

Memodifikasi dalil hibriditas yang ditelorkan Bhabha (1994), kita akan mendapatkan sebuah kondisi kultural yang menandakan keberantaraan orang Jawa di Tuban. Posisi Islam sebagai agama mayoritas adalah realitas kultural yang tidak bisa disangkal lagi karena proses penyebaran yang berlangsung sejak era kerajaan Majapahit hingga saat ini. 

Sebagian besar masyarakat Tuban sudah memeluk agama ini. Meskipun demikian, penghormatan terhadap arwah para leluhur desa/dusun tidak harus dihentikan di tengah-tengah proses dominasi tersebut. 

Mereka masih menghidupkan dan memelihara keyakinan akan pentingnya menjalankan ritual manganan yang sekaligus menjadi peristiwa sakral untuk memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Mahaesa. 

Pada konteks "doa" itulah tradisi Kejawen bisa dipertemukan dengan tradisi Islam, di mana para juru kunci atau tokoh adat dengan kesadaran akan dominasi Islam berkenan untuk memasukkan doa-doa dalam bahasa Arab sekaligus doa untuk Nabi Muhammad SAW. 

Namun, "mantra Jawa", "kemenyan", dan "doa untuk para leluhur" juga tidak boleh dihilangkan dan dilupakan dalam ritual manganan. Prinsip artikulasi dan negosiasi berjalan dalam nuansa damai sehingga, meskipun masih di-stigmatisasi sebagai ritual yang berpotensi menyekutukan Tuhan, manganan bisa ditransformasikan dalam kehidupan warga. 

Bukan untuk memperkuat syiar Islam, tetapi untuk terus menegosiasikan ke-jawa-an dalam pusaran nilai dan praktik ke-islam-an yang semakin menguat dewasa ini. Semua proses hibridisasi kultural tersebut dilangsungkan dalam suasana gembira; merayakan ritual dengan cara makan bersama di area makam leluhur dusun/desa.

Ibu-ibu membawa makanan untuk ritual bersih desa di Sendang Puncak Wangi, Babat, Lamongan. Dokumentasi Djoko Prakosa
Ibu-ibu membawa makanan untuk ritual bersih desa di Sendang Puncak Wangi, Babat, Lamongan. Dokumentasi Djoko Prakosa
Gambar di atas menandakan semangat dari para ibu, meskipun usia mereka sudah tua, untuk berpartisipasi dengan membawa makanan ke lokasi tempat penyelenggaraan tayub. 

Kenyataan tersebut menegaskan bahwa meskipun mereka dalam kehidupan sehari-hari memosisikan Islam sebagai agama yang diyakini, tetapi keyakinan tersebut harus berbagi dengan keyakinan leluhur pra-Islam yang juga dianggap mengandung unsur kebenaran empirik. 

Bolehlah para perempuan desa berjilbab, tetapi wilayah batin mereka masih belum bisa sepenuhnya meninggalkan keyakinan terhadap tradisi leluhur tersebut. Memang, ada sebagian warga yang memilih untuk mengabaikan keyakinan tersebut, tetapi kenyataan membuktikan bahwa masih banyak pula warga yang masih yakin. 

Dengan kata lain, membicarakan identitas religi dan kultural masyarakat desa tetap harus mengedepankan cara pandang non-esensialis karena memang kedua hal tersebut terus bertransformasi dan memunculkan bermacam tafsir dan praktik yang mengarah kepada pluralitas, bukan ketunggalan.

Bisa jadi, ada sebagian warga yang mengikuti ritual manganan dan nyadran tidak bersepakat dengan pertunjukan tayub yang digelar di tempat pemakaman leluhur desa atau di lahan lapang. Hal itu bukan menandakan bahwa dalam ritual desa-dengan-tayub pun terdapat faksi yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak menjadikan mereka tidak mau terlibat dalam manganan dan nyadran. 

Toh, pertunjukan tayub tetap digelar dengan penuh gembira. Permintaan ghaib dari arwah leluhur desa untuk menyelenggarakan tayub menjadi sebuah kebenaran yang memperkuat dalih tayuban. 

Untuk menunjukkan rasa solidartias demi menyukseskan hajatan desa, bahkan para warga yang menolak pun mau membayar iuran untuk mendatangkan peralatan sound system, kelompok karawitan, dan para tandhak/sindir/waranggono. 

Memang, sebelum pelaksanaan acara nyadran, satu atau dua bulan sebelumnya, biasanya perangkat dusun akan mengumpulkan kaum pemuda untuk membentuk kepanitiaan. Setelah kepanitiaan terbentuk, mereka akan bekerja menyiapkan pelaksanaan acara. 

Salah satu tugas mereka adalah mengumpulkan sumbangan sukarela dari para warga, baik yang berdomisili di dusun atau yang berada di kota untuk keperluan kerja. Biasanya, mereka juga akan narik (meminta sumbangan ke warga) ke beberapa pemilik toko yang biasanya memberikan sumbangan lebih besar dibandingkan warga biasa. 

Kerelaan para warga untuk memberikan sumbangan memang tidak bisa dipisahkan, sekali lagi, dari keyakinan lokal mereka bahwa pagelaran tayub dalam ritual akan berdampak positif bagi kehidupan mereka sendiri. Meskipun sebagian besar dari mereka tidak lagi mengidentifikasikan tayub dengan makna kesuburan, tetapi makna budaya tradisional yang harus dipertahankan. 

Sesepuh Dusun Sambiroto memimpin tradisi khaul sebelum tayuban dimulai. Dokumentasi penulis
Sesepuh Dusun Sambiroto memimpin tradisi khaul sebelum tayuban dimulai. Dokumentasi penulis

Masih kuatnya keyakinan akan dampak positif tayuban, bahkan menjadikan sebagian warga di Sambiroto, Lamongan, mengucapkan janji akan menyumbangkan uang untuk menyokong pagelaran tayub dalam rangka nyadran apabila doa mereka dikabulkan oleh Tuhan atau permasalahan mereka mendapatkan solusi. 

Biasanya berupa permintaan agar diberikan kesembuhan dari penyakit untuk anggota keluarga, anak-anak atau cucu-cucu dalam sebuah keluarga bisa berbicara atau mau sekolah, ataupun mendapatkan tambahan rezeki. Tradisi ini dinamakan khaul yang dilaksanakan pada pra pagelaran tayub di siang hari. 

Tradisi ini merupakan bentuk sinkretisme ajaran Islam, yakni nadzar, yang disesuaikan dengan tradisi dalam masyarakat desa. Dalam tradisi warga Nahdliyin, haul lebih ditujukan untuk memperingati meninggalkanya tokoh atau kyai yang memiliki kharisma di mata umatnya. 

Artinya, meskipun mereka telah memeluk Islam, sebagian besar masyarakat desa di Lamongan masih belum sepenuhnya mau melepaskan tradisi leluhur yang dianggap bisa memperkuat keyakinan mereka dan mendorong mereka untuk selalu mengutarakan rasa syukur. Apa yang menarik adalah bahwa sebagian besar warga yang melaksanakan khaul dari para ibu. 

Hal ini bisa jadi disebabkan karena posisi mereka dalam keluarga yang menjadi penanggungjawab urusan internal, termasuk merawat anak dan mengatur keuangan keluarga. Posisi dominan dalam internal keluarga ini sekaligus menegaskan tanggung jawab mereka yang tidak kalah dengan tanggung jawab suami/laki-laki. 

Secara ekonomis, tambahan uang dari khaul ini bisa membantu pembiayaan panitia, khususnya untuk menutupi kebutuhan sewa terob dan keperluan lain. Lebih jauh lagi, pada tradisi khaul yang sangat sederhana, tanpa tumpeng, tanpa sesajen, tanpa rentetan ritual, kita bisa menemukan perwujudan dan keberlangsungan makna kesakraan di tengah-tengah keprofanan pertunjukan tayub. 

Artinya, para pelaku khaul, meskipun jumlahnya tidak banyak, antara 10-15 orang, masih meyakini adanya aspek sakral dalam tayuban yang berhubungan dengan doa mereka, sehingga mereka bernadzar untuk menyumbang bagi pelaksanaan acara.

Hal berbeda berlangsung di desa-desa yang tidak lagi memasukkan tradisi tayuban sebagai bagian integral dari ritual bersih desa. Di Tuban, misalnya, terdapat desa-desa yang meniadakan pertunjukan ini karena kuatnya gerakan dakwah Islam.

Waluyo (2012) memaparkan bahwa kuatnya arus purifikasi keislaman, menyebabkan perubahan kontruksi dan tafsir atas manganan. Jika sebelumnya manganan berbalut dengan tayub dan tuak, beberapa desa yang dimotori pemuka-pemuka Islam setempat, mengubah tatanan ritus manganan. 

Acara tayuban yang biasanya berlangsung malam hari pada saat manganan mulai ditiadakan. Beberapa desa mengganti dengan acara hadrah, atau biasa disebut terbang-jidoran, sambil diiringi syair puja-puji Islam yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Nabi Muhammad SAW. 

Perubahan itu semakin menunjukkan kemampuan kalangan santri untuk mengubah ritus-ritus lokal yang selama bertahun-tahun sebelumnya menjadi "teman intim". Tidak saja mampu mengubah manganan dengan lebih "Islami", tetapi mampu menyingkirkan tubuh perempuan yang biasa berlenggak-lenggok dalam acara tayuban. 

Kalau dalam asumsi umum dikatakan bahwa kalangan santri yang sebagian besar adalah warga Nahdliyin bisa bersinergi dengan ritual-ritual lokal, kenyataan di era Reformasi (yang sebenarnya sudah dimulai di era Orde Baru) menunjukkan hal yang berbeda. 

Mereka yang dulunya menjadi "pihak yang melindungi" beragam ritus lokal dengan cara mentransformasinya dalam tradisi Islam tanpa mengubah sepenuhnya yang lokal, perlahan tapi pasti berhasil menggusur dan mengganti gelaran-gelaran yang menjadi bagian integral dari ritual bersih desa dengan gelaran-gelaran yang lebih islami, seperti terbang-jidoran. 

Lagi-lagi, alasan haram-nya bagian-bagian dalam pertunjukan tayub menjadi penyebab gerakan purifikasi yang dulunya banyak dilekatkan pada warga Muhammadiyah ini. Mereka bukan lagi "teman intim" untuk mempertahankan ritual lokal sepenuhnya. 

Kasus berbeda terjadi di Sambiroto, Lamongan, di mana beberapa tokoh Muhammadiyah menjadi 'pelindung' bagi para penggemar tayub untuk tetap bisa bekso di acara nyadran. Tentu saja, banyak juga tokoh Muhammadiyah yang kontra dengan pilihan sikap tersebut.

Salah satu realitas kultural yang tengah menjadi dominan di wilayah desa pasca Reformasi adalah gencarnya syiar Islam. Pengajian di masjid oleh para ustadz, pengajian terbuka oleh para kyai kondang, pengajian taklim, dan peringatan hari besar Islam menjadi ritual religi yang menjadi semakin biasa bagi masyarakat desa serta mampu sedikit demi sedikit mengurangi pelaksanaan ritual Jawa. 

Salah satu yang sudah semakin jarang dilakukan oleh warga adalah pemberian sesajen yang ditujukan untuk arwah keluarga yang sudah meninggal setiap malam Jum'at Legi. Ritual wiwitan untuk menyongsong masa panen padi juga semakin ditinggalkan, termasuk pemberian sesajen dan tidur di sawah sebelum panen palawija. 

Perubahan ini memang sudah berlangsung sejak rezim Orde Baru memperkenalkan Revolusi Hijau dalam bidang pertanian dan mulai gencarnya syiar Islam pada masa ini. Semakin massifnya syiar Islam di masa Reformasi mendorong masyarakat desa, khususnya yang memeluk Islam, "merasa malu" dan "merasa berdosa" untuk melakukan ritual-ritual warisan moyang mereka. 

Kalau dalam penelitiannya, Geertz (1983) mengidentifikasi Jawa-Abangan sebagai mereka yang mengaku beragama Islam tetapi masih menjalankan ritual-ritual tradisional, saat ini komunitas tersebut semakin berkurang jumlahnya karena semakin banyak warga yang mengutamakan ritual-ritual Islam dan hanya sedikit yang mempertahankan ritual Jawa, termasuk bersih desa. 

Itupun aspek sinkretisnya sudah semakin kuat. Artinya, keyakinan dan ritual Islam sudah mulai menjadi tradisi bagi masyarakat desa, menggeser sebagian tradisi Jawa tradisional. Sekali lagi, ini merupakan realitas kultural yang menjadi tantangan bagi perkembangan kesenian tayub di tengah-tengah masyarakat desa. 

Ketika orang-orang hanya berbahasa Jawa dan semakin jarang membicarakan keyakinan Jawa, keislaman menjadi kekuatan baru karena terbantu oleh syiar yang semakin gencar. 

Dengan demikian, dari aspek religi, perkembangan tayub jelas sudah mengalami jalan buntu, bahkan hanya memunculkan stigmatisasi yang berasal dari keprofanan pertunjukannya. Kalaupun masih ada warga desa yang menyelenggarakan bersih desa dengan hiburan tayub, itu pun jumlahnya dari waktu ke waktu semakin berkurang.

Ritual bersih desa memang masih menjadi salah satu penopang daya-hidup tayub di wilayah pedesaan, tetapi juga tidak sepenuhnya. Ketika praktik sinkretis agama dan tradisi Jawa hanya menyentuh aspek doa sebagai usaha spritual umat manusia dengan menolak kesenian yang diyakini melanggar ajaran agama, maka keberadaan tayub bisa menjadi cerita masa lalu. 

Namun, ketika sebagian besar warga desa masih memosisikan tayub sebagai bagian integral dari ritual desa yang sekaligus memberikan hiburan live kepada mereka, maka pertunjukan tayub masih akan dipertahankan dan dilangsungkan dengan bermacam argumen; dari "melestarikan tradisi leluhur" hingga "syarat wajib dari para dhanyang penunggu desa." 

Cara pandang hitam-putih terhadap kesenian ini memang masih dan semakin kuat pada era terkini. Meskipun demikian, para penggemar seperti tidak pernah menghiraukannya, bahkan, berani melawan pandangan negatif tersebut, dengan terus menggelar tayub.  

Mengembangkan Kesadaran Etik-Religi 

Kesadaran etik-religi lebih berkaitan dengan usaha para seniman tayub untuk mengembangkan sikap adaptif dan toleran terhadap kegiatan keagamaan. Dalam pertunjukan tayub, pramugari akan menghentikan pertunjukan sementara waktu ketika terdengar adzan ashar dan mengehentikan pertunjukan ketika menjelang waktu maghrib. 

Setelah sholat isya’, pertunjukan baru digelar lagi sampai menjelang subuh. Semua itu dilakukan untuk menghargai umat Islam yang akan melaksanakan ritual sholat. Dengan strategi tersebut, pertunjukan tayub dan para senimannya tidak akan dianggap “tidak tahu wayah”, tidak mengerti waktu di mana orang-orang tengah mengerjakan sesuatu yang mereka yakini sebagai kewajiban agama. 

Meskipun tidak mampu menghapus stigmatisasi melanggar hukum agama, paling tidak siasat tersebut bisa sedikit mengurangi tegangan antara para pemuka agama vs seniman dan penggemar tayub.

Sementara, para penggemar tayub di desa juga mengembangkan kesadaran etik-religi yang menjadikan mereka tetap mendapatkan tempat terhormat di masyarakat. 

Di Dusun Sambiroto, Lamongan, misalnya, setiap ada kematian salah satu warga, generasi muda dan generasi tua yang seringkali diidentifikasi sebagai kelompok yang menyimpang dari ajaran agama, menjadi tenaga sukarela yang pertama kali menuju kuburan untuk menggali liang lahat. 

Adapun para tokoh desa dan pemuka agama, biasanya mengurusi urusan-urusan di rumah duka dan peribadatan. Ketika para penggemar tayub tidak menuju kuburan, bisa dipastikan proses pemakaman akan memakan waktu yang relatif lama. Padahal, dalam ajaran agama menyegerakan pemakaman jasad adalah anjuran yang diutamakan. 

Dengan kesadaran etis-religi tersebut, para pemuka agama tidak berani dan mampu untuk mengolok-olok para penggemar tayub secara terbuka ataupun dalam kesempatan mimbar pengajian. Biasanya yang diserang dalam pengajian adalah kebiasaan minum bir dan kemaksiatan. 

Implikasi lanjutnya adalah ketika ada acara tayuban, para pemuka agama tidak kuasa untuk melarangnya secara terbuka. Meskipun terkesan sepele, kebiasaan untuk terlibat dalam acara komunal seperti penguburan warga menjadi siasat dan senjata jitu yang mampu menunda atau bahkan menggugurkan keinginan sebagian besar pemuka agama untuk melarang pertunjukan tayub. 

Begitulah siasat transformatif yang dilakukan para seniman dan penggemar tayub dalam ritual bersih desa dalam menghadapi perubahan kultural dan stigmatisasi. Dengan siasat-siasat seperti itulah tayub masih bisa bertahan hingga saat ini dan menjadi salah satu identitas manusia Jawa di tengah-tengah arus perubahan besar yang berlangsung.

Daftar Bacaan 

Bhabha, Hommi K. 1994. The Location of Culture. London: Routledge.

Waluyo, Paring. 2012. “Tuak, Tayub, dan Siasat Sindir”. http://srinthil.org/68/tuak-tayub-dan-siasat-sindir/, 12 Agustus 2013. 

Wicaksono, Yovinus Guntur. 2012. “Menjaga Alam dengan Ritual Ruwat Desa dan Tayub”, diunduh dari: http://www.indosuara.com/artikel/warta/menjaga-alam-dengan-ritual-ruwat-desa-dan-tayub/, 24 Oktober 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun