Menariknya, di Dusun Sambiroto, Kecamatan Sugio, Lamongan, pada acara slametan bersama yang diselenggarakan pada malam sebelum pertunjukan tayub, modin (pemimpin keagamaan) memimpin doa dan tahlil yang ditujukan untuk arwah pendiri desa.Â
Ini dilakukan agar Tuhan memberikan limpahan rahmat dan rezekinya kepada warga desa; baik dalam kerja-kerja pertanian maupun kerja-kerja di sektor wiraswasta.Â
Kalau di beberapa wilayah lain acara slametan dilakukan di pedhayangan, di dusun ini acara dilaksanakan di halaman sebuah sekolah dasar. Hasil uang yang dikumpulkan dari wajib (uang sodaqoh untuk slametan) dibagi rata; untuk takmir dua masjid (NU dan Muhammadiyah) dan panitia.Â
Politik apropriasi (menerima dan menyesuaikan budaya lain secara kontekstual) yang dilakukan oleh panitia nyadran dan tayuban terhadap praktik ke-islam-an menegaskan keterbukaan pola pikir dan praksis yang bertujuan untuk mempertahankan sebagian identitas Jawa di tengah-tengah dominasi wacana dan praksis keagamaan yang tengah berlangsung.Â
Paling tidak, dengan cara demikian, tegangan dikotomis antara kekuatan agamis dan sekuler bisa sedikit diredam, meskipun tidak bisa dihilangkan sepenuhnya. Para tokoh agama tetap tidak bisa menerima, misalnya, tradisi menenggak minuman beralkohol.
Memang, di zaman Reformasi ini, sudah banyak wacana yang mencoba untuk menjernihkan tegangan antara tradisi-yang-dipandang-negatif dari pertunjukan tayub dalam ritual komunal-desa maupun ritual keluarga dengan cara pikir tokoh-tokoh agama.Â
Sebagian besar dari mereka meyakini bahwa pertunjukan tayub tidak harus selalu dipandang dalam kerangka negatifnya, karena, senyatanya, terdapat aspek-aspek sakral yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat agraris. Logika agraris-tradisional kembali dimobilisasi ditambahi dengan pemikiran kontemporer untuk meng-counter pandangan stigmatik terhadap tayub dan ritual.Â
Wicaksono (2012) menuturkan bahwa tayub selalu digelar dalam ritual bersih desa di Dusun Sumbermuneng, Desa Joho, Kecamatan Pace, Nganjuk. Warga desa menyelenggarakan bersih desa memang tak lama setelah hari raya Idul Fitri. Alasannya, adalah sebagai ucapan syukur, karena telah diberikan keselamatan selama kehidupan mereka.Â
Untuk bersih desa di wilayah Sumbermuneng, dipusatkan di sendang (telaga) yang dipercaya keramat oleh warga. Dari sendang itulah warga bisa mendapatkan air bersih serta menghidupi ternak maupun sawah mereka. Entah bagaimana asal mulanya, pagelaran seni tayub wajib dilakukan.Â
Jika tidak, warga percaya akan terjadi sesuatu hal di kampung mereka. Sesepuh desa menerangkan dulu pernah diganti wayang kulit, tetapi setelah itu, hasil pertanian warga gagal total, karena pagebluk.Â
Tayub sebagai persembahan untuk leluhur, ditafsirkan bahwa manusia percaya bahwa mahluk halus menempati alam sekeliling tempat tinggalnya. Mahluk halus tersebut, menjadi obyek penghormatan yang disertai berbagai ritual berupa doa, dan sajian. Bagi masyarakat Jawa, menjaga keharmonisan alam dan pengucapan syukur atas apa yang telah diberikan alam harus dilakukan.Â