Waluyo (2012) memaparkan bahwa kuatnya arus purifikasi keislaman, menyebabkan perubahan kontruksi dan tafsir atas manganan. Jika sebelumnya manganan berbalut dengan tayub dan tuak, beberapa desa yang dimotori pemuka-pemuka Islam setempat, mengubah tatanan ritus manganan.Â
Acara tayuban yang biasanya berlangsung malam hari pada saat manganan mulai ditiadakan. Beberapa desa mengganti dengan acara hadrah, atau biasa disebut terbang-jidoran, sambil diiringi syair puja-puji Islam yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Nabi Muhammad SAW.Â
Perubahan itu semakin menunjukkan kemampuan kalangan santri untuk mengubah ritus-ritus lokal yang selama bertahun-tahun sebelumnya menjadi "teman intim". Tidak saja mampu mengubah manganan dengan lebih "Islami", tetapi mampu menyingkirkan tubuh perempuan yang biasa berlenggak-lenggok dalam acara tayuban.Â
Kalau dalam asumsi umum dikatakan bahwa kalangan santri yang sebagian besar adalah warga Nahdliyin bisa bersinergi dengan ritual-ritual lokal, kenyataan di era Reformasi (yang sebenarnya sudah dimulai di era Orde Baru) menunjukkan hal yang berbeda.Â
Mereka yang dulunya menjadi "pihak yang melindungi" beragam ritus lokal dengan cara mentransformasinya dalam tradisi Islam tanpa mengubah sepenuhnya yang lokal, perlahan tapi pasti berhasil menggusur dan mengganti gelaran-gelaran yang menjadi bagian integral dari ritual bersih desa dengan gelaran-gelaran yang lebih islami, seperti terbang-jidoran.Â
Lagi-lagi, alasan haram-nya bagian-bagian dalam pertunjukan tayub menjadi penyebab gerakan purifikasi yang dulunya banyak dilekatkan pada warga Muhammadiyah ini. Mereka bukan lagi "teman intim" untuk mempertahankan ritual lokal sepenuhnya.Â
Kasus berbeda terjadi di Sambiroto, Lamongan, di mana beberapa tokoh Muhammadiyah menjadi 'pelindung' bagi para penggemar tayub untuk tetap bisa bekso di acara nyadran. Tentu saja, banyak juga tokoh Muhammadiyah yang kontra dengan pilihan sikap tersebut.
Salah satu realitas kultural yang tengah menjadi dominan di wilayah desa pasca Reformasi adalah gencarnya syiar Islam. Pengajian di masjid oleh para ustadz, pengajian terbuka oleh para kyai kondang, pengajian taklim, dan peringatan hari besar Islam menjadi ritual religi yang menjadi semakin biasa bagi masyarakat desa serta mampu sedikit demi sedikit mengurangi pelaksanaan ritual Jawa.Â
Salah satu yang sudah semakin jarang dilakukan oleh warga adalah pemberian sesajen yang ditujukan untuk arwah keluarga yang sudah meninggal setiap malam Jum'at Legi. Ritual wiwitan untuk menyongsong masa panen padi juga semakin ditinggalkan, termasuk pemberian sesajen dan tidur di sawah sebelum panen palawija.Â
Perubahan ini memang sudah berlangsung sejak rezim Orde Baru memperkenalkan Revolusi Hijau dalam bidang pertanian dan mulai gencarnya syiar Islam pada masa ini. Semakin massifnya syiar Islam di masa Reformasi mendorong masyarakat desa, khususnya yang memeluk Islam, "merasa malu" dan "merasa berdosa" untuk melakukan ritual-ritual warisan moyang mereka.Â
Kalau dalam penelitiannya, Geertz (1983) mengidentifikasi Jawa-Abangan sebagai mereka yang mengaku beragama Islam tetapi masih menjalankan ritual-ritual tradisional, saat ini komunitas tersebut semakin berkurang jumlahnya karena semakin banyak warga yang mengutamakan ritual-ritual Islam dan hanya sedikit yang mempertahankan ritual Jawa, termasuk bersih desa.Â