Salah satu tugas mereka adalah mengumpulkan sumbangan sukarela dari para warga, baik yang berdomisili di dusun atau yang berada di kota untuk keperluan kerja. Biasanya, mereka juga akan narik (meminta sumbangan ke warga) ke beberapa pemilik toko yang biasanya memberikan sumbangan lebih besar dibandingkan warga biasa.Â
Kerelaan para warga untuk memberikan sumbangan memang tidak bisa dipisahkan, sekali lagi, dari keyakinan lokal mereka bahwa pagelaran tayub dalam ritual akan berdampak positif bagi kehidupan mereka sendiri. Meskipun sebagian besar dari mereka tidak lagi mengidentifikasikan tayub dengan makna kesuburan, tetapi makna budaya tradisional yang harus dipertahankan.Â
Masih kuatnya keyakinan akan dampak positif tayuban, bahkan menjadikan sebagian warga di Sambiroto, Lamongan, mengucapkan janji akan menyumbangkan uang untuk menyokong pagelaran tayub dalam rangka nyadran apabila doa mereka dikabulkan oleh Tuhan atau permasalahan mereka mendapatkan solusi.Â
Biasanya berupa permintaan agar diberikan kesembuhan dari penyakit untuk anggota keluarga, anak-anak atau cucu-cucu dalam sebuah keluarga bisa berbicara atau mau sekolah, ataupun mendapatkan tambahan rezeki. Tradisi ini dinamakan khaul yang dilaksanakan pada pra pagelaran tayub di siang hari.Â
Tradisi ini merupakan bentuk sinkretisme ajaran Islam, yakni nadzar, yang disesuaikan dengan tradisi dalam masyarakat desa. Dalam tradisi warga Nahdliyin, haul lebih ditujukan untuk memperingati meninggalkanya tokoh atau kyai yang memiliki kharisma di mata umatnya.Â
Artinya, meskipun mereka telah memeluk Islam, sebagian besar masyarakat desa di Lamongan masih belum sepenuhnya mau melepaskan tradisi leluhur yang dianggap bisa memperkuat keyakinan mereka dan mendorong mereka untuk selalu mengutarakan rasa syukur. Apa yang menarik adalah bahwa sebagian besar warga yang melaksanakan khaul dari para ibu.Â
Hal ini bisa jadi disebabkan karena posisi mereka dalam keluarga yang menjadi penanggungjawab urusan internal, termasuk merawat anak dan mengatur keuangan keluarga. Posisi dominan dalam internal keluarga ini sekaligus menegaskan tanggung jawab mereka yang tidak kalah dengan tanggung jawab suami/laki-laki.Â
Secara ekonomis, tambahan uang dari khaul ini bisa membantu pembiayaan panitia, khususnya untuk menutupi kebutuhan sewa terob dan keperluan lain. Lebih jauh lagi, pada tradisi khaul yang sangat sederhana, tanpa tumpeng, tanpa sesajen, tanpa rentetan ritual, kita bisa menemukan perwujudan dan keberlangsungan makna kesakraan di tengah-tengah keprofanan pertunjukan tayub.Â
Artinya, para pelaku khaul, meskipun jumlahnya tidak banyak, antara 10-15 orang, masih meyakini adanya aspek sakral dalam tayuban yang berhubungan dengan doa mereka, sehingga mereka bernadzar untuk menyumbang bagi pelaksanaan acara.
Hal berbeda berlangsung di desa-desa yang tidak lagi memasukkan tradisi tayuban sebagai bagian integral dari ritual bersih desa. Di Tuban, misalnya, terdapat desa-desa yang meniadakan pertunjukan ini karena kuatnya gerakan dakwah Islam.