Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca-kembali Rezim Orba: Pembangunanisme, Otoritarianisme, dan Kebudayaan

17 Januari 2023   00:35 Diperbarui: 17 Januari 2023   00:35 1541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pidato Suharto dalam menyambut panen raya di desa Lappo Ase, Sulawesi Selatan, 1983. (Perpusnas/Wikimedia)

Sebuah kekuasaan hegemonik akan terus memperbaiki strategi dan praksisnya di tengah-tengah beragam orientasi dan permasalahan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Selain mengartikulasikan hal-hal yang diinginkan publik, rezim juga perlu memetakan dan memutuskan wacana-wacana apa yang sekiranya bisa mengancam keberlangsungan dan kemapanan kekuasaan. 

Membersihkan ruang bernegara dan berbangsa dari bermacam narasi negatif tentang rezim Orba merupakan mekanisme kultural yang juga diterapkan penguasa. Tujuannya adalah tidak membiarkan munculnya gugatan-gugatan oleh warga negara terhadap kepemimpinan Pak Harto. 

Suharto dan Sukarno. (KOMPAS.COM)
Suharto dan Sukarno. (KOMPAS.COM)

Karena ketika banyak pertanyaan dibiarkan berkembang dalam benak masyarakat terkait permasalahan tertentu bisa menjadi titik lemah dari sebuah pemerintahan. Dalam kondisi demikian resistensi bisa dengan mudah dimobilisasi dan digerakkan individu atau komunitas yang ingin menumbangkan rezim. 

Sebagai saya paparkan secara singkat dalam pembahasan sebelumnya bahwa keberbasilan pembangunan dan beragam wacana pembangunanisme berhasil ‘membius’ masyarakat. Hal itu tidak berarti tidak ada masalah serius yang melibatkan rezim Suharto. 

Sebaliknya, dari data-data yang mulai terbuka pasca Reformasi 1998, kita disuguhi "fakta-fakta negatif" yang sengaja disenyapkan demi menjaga stabilitas keamaan dan integrasi nasional. Karena kehadiran narasi-narasi tersebut bisa memroduksi wacana-wacana tandingan dan, bahkan, perlawanan yang bisa membahayakan kekuasaan. 

Maka dari itu, mereka tidak dibiarkan berkembang di media massa, film, lagu, televisi, ataupun omongan publik. Aparat sensor dan aparat keamanan siap meniadakan semua narasi dan wacana negatif yang dianggap merongrong rezim. 

Adapun beberapa permasalahan serius yang ditiadakan dalam narasi resmi Orba adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta pelanggaran HAM berat. Saya dan kawan-kawan tidak pernah mendengar narasi tersebut dari SD hingga SMP, baik dari bapak dan ibu guru ataupun dari TVRI.

Temuan-temuan penting pasca lengsernya Suharto, 1998, dengan terang-benderang menunjukkan betapa korupnya penguasa ini bersama keluarga dan kroni-kroninya. Berdasarkan temuan Transparancy International 2004, dana yang terkumpul dari total perkiraan korupsi Suharto adalah 15-25 miliar dolar AS, sehingga ia dijuluki “diktator terkorup di dunia” (Republika). 

Usman Hamid, Direktur Amnesti Internasional Indonesia, menamai praktik korupsi Suharto sebagai grand corruption karena dilakukan secara sistemik, terstruktur, dan rapi; melibatkan aparat negara dan dibungkus dengan peraturan yang legal. Korupsi sistemik dilakukan melalui peraturan undang-undang dan keputusan presiden tentang tata niaga; “korupsi yang diselimuti aturan”. 

Implikasi mengerikan dari praktik tersebut adalah “regenerasi” atau “pengembangbiakan” korupsi di semua ranah pemerintahan; eksekutif, yudikatif, legislatif, hingga aparat keamanan. Akibatnya, tidak ada kekuatan dalam pemerintahan yang berani mengungkap praktik korupsi berbalut aturan tersebut.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun