Sebuah kekuasaan hegemonik akan terus memperbaiki strategi dan praksisnya di tengah-tengah beragam orientasi dan permasalahan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Selain mengartikulasikan hal-hal yang diinginkan publik, rezim juga perlu memetakan dan memutuskan wacana-wacana apa yang sekiranya bisa mengancam keberlangsungan dan kemapanan kekuasaan.
Membersihkan ruang bernegara dan berbangsa dari bermacam narasi negatif tentang rezim Orba merupakan mekanisme kultural yang juga diterapkan penguasa. Tujuannya adalah tidak membiarkan munculnya gugatan-gugatan oleh warga negara terhadap kepemimpinan Pak Harto.
Karena ketika banyak pertanyaan dibiarkan berkembang dalam benak masyarakat terkait permasalahan tertentu bisa menjadi titik lemah dari sebuah pemerintahan. Dalam kondisi demikian resistensi bisa dengan mudah dimobilisasi dan digerakkan individu atau komunitas yang ingin menumbangkan rezim.
Sebagai saya paparkan secara singkat dalam pembahasan sebelumnya bahwa keberbasilan pembangunan dan beragam wacana pembangunanisme berhasil ‘membius’ masyarakat. Hal itu tidak berarti tidak ada masalah serius yang melibatkan rezim Suharto.
Sebaliknya, dari data-data yang mulai terbuka pasca Reformasi 1998, kita disuguhi "fakta-fakta negatif" yang sengaja disenyapkan demi menjaga stabilitas keamaan dan integrasi nasional. Karena kehadiran narasi-narasi tersebut bisa memroduksi wacana-wacana tandingan dan, bahkan, perlawanan yang bisa membahayakan kekuasaan.
Maka dari itu, mereka tidak dibiarkan berkembang di media massa, film, lagu, televisi, ataupun omongan publik. Aparat sensor dan aparat keamanan siap meniadakan semua narasi dan wacana negatif yang dianggap merongrong rezim.
Adapun beberapa permasalahan serius yang ditiadakan dalam narasi resmi Orba adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta pelanggaran HAM berat. Saya dan kawan-kawan tidak pernah mendengar narasi tersebut dari SD hingga SMP, baik dari bapak dan ibu guru ataupun dari TVRI.
Temuan-temuan penting pasca lengsernya Suharto, 1998, dengan terang-benderang menunjukkan betapa korupnya penguasa ini bersama keluarga dan kroni-kroninya. Berdasarkan temuan Transparancy International 2004, dana yang terkumpul dari total perkiraan korupsi Suharto adalah 15-25 miliar dolar AS, sehingga ia dijuluki “diktator terkorup di dunia” (Republika).
Usman Hamid, Direktur Amnesti Internasional Indonesia, menamai praktik korupsi Suharto sebagai grand corruption karena dilakukan secara sistemik, terstruktur, dan rapi; melibatkan aparat negara dan dibungkus dengan peraturan yang legal. Korupsi sistemik dilakukan melalui peraturan undang-undang dan keputusan presiden tentang tata niaga; “korupsi yang diselimuti aturan”.
Implikasi mengerikan dari praktik tersebut adalah “regenerasi” atau “pengembangbiakan” korupsi di semua ranah pemerintahan; eksekutif, yudikatif, legislatif, hingga aparat keamanan. Akibatnya, tidak ada kekuatan dalam pemerintahan yang berani mengungkap praktik korupsi berbalut aturan tersebut.