Ketujuh, peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli) yang dilatarbelakangi pandangan Soeharto bahwa Megawati merupakan ancaman terhadap kemapanan rezim Orde Baru. Aksi yang melibatkan aparat menyebabkan 11 orang meninggal, 149 luka-luka, 23 orang hilang, 124 orang ditahan.Â
Kedelapan, penculikan dan penghilangan secara paksa 1997–1998 yang tidak bisa dilepaskan dari konteks politik peristiwa 27 Juli, yakni menjelang Pemilihan Umum 1997 dan Sidang Umum MPR 1998 di mana wacana pergantian kekuasaan semakin menguat. Setidaknya 23 aktivis dan masyarakat yang dianggap akan melakukan subversi menjadi korban penculikan dan penghilangan paksa.Â
Kopassus disebut menjadi eksekutor lapangan, dengan nama operasi Tim Mawar. Sebanyak 9 orang dikembalikan, 1 orang meninggal dunia dan 13 orang masih hilang.Â
Kesembilan, peristiwa Trisakti 12 Mei 1998 di mana aktivis dan mahasiswa pro demokrasi mendorong reformasi total dan turunnya Soeharto dari jabatannya karena krisis ekonomi dan maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).Â
Tindakan represif ABRI menyebabkan 4 mahasiswa Universitas Trisakti meninggal. Kesepuluh, kerusuhan 13–15 Mei 1998 terjadi dalam peristiwa Trisakti. Dalam peristiwa ini terjadi pembunuhan, penganiayaan, perusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan paksa, perkosaan, serta penyerangan terhadap etnis tertentu.
Tentu saja masih banyak kasus penindasan rezim negara kepada masyarakat yang tidak diberitakan oleh media, khususnya yang berlangsung pada era pasca 65 hingga 1990-an. Adapun kasus-kasus yang terjadi pada pertengahan 1990-an hingga menjelang Reformasi 1998 mulai banyak diberitakan media massa.Â
Menjadi wajar kalau masih banyak warga negara yang menyenangi pemerintahan Suharto karena mereka tidak banyak mendapatkan informasi. Para mahasiswa, aktivis, dan intelektual kampuslah yang sedikit banyak mendapatkan akses informasi terkait kebobrokan rezim. Tidak heran kalau gerakan Reformasi berasal dari para mahasiswa, aktivis pro-demokrasi, dan intelektual terlibat.Â
Kasus-kasus di atas mengklarifikasi betapa di balik keberhasilan pembangunan dengan segala macam kampanyenya, rezim Orba sangat berbahaya karena selama lebih dari 30 tahun mereka tidak hanya melakukan KKN secara berjamaah dan regenerasinya bisa kita rasakan sampai sekarang, tetapi juga memberangus secara keji individu dan kelompok yang dianggap berbahaya bagi kekuasaan.Â
Nyawa manusia menjadi begitu murah dibandingkan kemapanan kekuasaan rezim. Harus diakui, Suharto berhasil menjalankan pembangunan dalam banyak bidang.Â
Meskipun demikian, kebiadaban yang dijalankan jelas-jelas tidak bisa diterima karena kemampuan rezim Suharto memainkan wacana pembangunanisme yang menutupi semua kejahatan sistemik negara memang bukan jaminan untuk menyelamatkan kekuasaannya.Â
Namun, kemampuan strategis itu terbukti mampu menghindari perlawanan dalam skala besar terhadap kejahatan dan kebiadaban yang dilakukan negara terhadap warganya.