Acciaioli (1985) memaparkan bagaimana di tengah-tengah kuatnya ‘agama sipil’, Pancasila dan pembangunan, rezim Suharto mengubah fungsi ritual dari kesenian, mentransformasi adat tertentu menjadi ‘kesenian’ dan menata-kembali kehidupan dalam komunitas di mana adat masih diikuti.
Acciaicoli (dikutip dalam Jones, 2012: 154), setidaknya, mengidentifikasi 3 elemen terkait proses tersebut yang berhubungan dengan kebijakan budaya. Pertama, transformasi ritual untuk memenuhi agama sipil negara, termasuk penerapan standar moral yang sesuai dengan agama lokal dominan (seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha).
Kedua, para aparat harus mampu mengarahkan perubahan tersebut ke dalam komunitas. Ketiga, pemerintah Indonesia mengkonsepsikan dirinya sebagai “pembawa budaya yang benar”, alih-alih sebagai pembawa pandangan yang lebih antropologis dari budaya.
Dengan perspektif itulah, pemerintah daerah melakukan proyek-proyek budaya yang sesuai dengan keinginan Jakarta. Kesenian-kesenian daerah dihidupkan lagi setelah sempat mati suri pasca 1965.
Ritual-ritual adat disemarakkan dengan arahan yang sesuai dengan keinginan pemerintah dalam menyukseskan pembangunan. Bentuk-bentuk budaya lain seperti bahasa daerah atau bahasa ibu juga dikembangkan untuk mendukung dan memperkuat identitas budaya lokal dalam kendali negara.
Salah satu dampak nyata dari kebijakan budaya nasional dan budaya daerah tersebut adalah semaraknya ekspresi budaya di setiap daerah. Namun demikian, kesemarakkan tersebut menghilangkan kekuatan ideologis budaya lokal terkait permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi, dan politik.
Reduksi budaya daerah sekedar sebagai perayaan yang dimeriahkan menjadikan rakyat kehilangan ikatan strategisnya dengan ekspresi budaya mereka. Bahkan, gerakan ekologis dan pertanian yang bisa diberdayakan melalui kekuatan lokalitas juga berusaha ditiadakan karena pemerintah lebih memilih Revolusi Hijau sebagai solusi untuk memajukan pertanian demi swasembada pangan.
Bersama-sama dengan Penataran P-4, penyebarluasan budaya bangsa benar-benar menjadi alat kontrol negara terhadap tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai modernitas yang bisa membahayakan kemapanan rezim Suharto.
Dampak lain yang mengerikan dari kebijakan tersebut adalah menguatnya sensor untuk semua produk kebudayaan. Pembatasan sensor benar-benar memberangus gagasan kritis yang ada dalam industri budaya di Indonesia. Itu semua menjadikan kebudayaan Indonesia memang tambak hebat, tetapi sejatinya masih kurang berkembang dengan baik.
Daftar Bacaan
Acciaioli, Greg. 1985. “Culture as Art: From Practice to Spectacle in Indonesia”. Canberra Anthhropology, Vol. 8 (1 & 2), hlm. 148-172.