Ini belum kasus genosida 65 di mana banyak anggota, simpatisan, keluarga, dan warga yang dituduh PKI dibunuh tanpa pengadilan dan tanpa pemakaman yang layak.Â
Kedua, penembakan misterius 1981-1985, yakni semacam ‘hukuman mati’ tanpa proses pengadilan terhadap residivis, bromocorah, gali, dan preman tanpa melalui pengadilan dengan tujuan menciptakan keamanan dan ketertiban untuk pembangunan nasional. Menurut Kontras, Suharto patut diduga membuat kebijakan petrus karena dalam pidato rutin kenegaraan pada Agustus 1981.Â
Ia mengungkapkan bahwa pelaku kejahatan harus dihukum dengan cara yang sama saat ia memperlakukan korbannya. Operasi tersebut merupakan terapi kejut agar para kriminal tidak melakukan kejahatan. Dalam catatan Amnesty Internasional korban jiwa karena kebijakan tersebut mencapai kurang lebih 5 ribu orang, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bandung.Â
Ketiga, tragedi Tanjung Priok 1984 di mana Suharto memanfaatkan KOPKAMTIB untuk mendukung dan melindungi kebijakan politiknya. Suharto selaku panglima tertinggi ABRI mengeluarkan sikap, pernyataan, dan kebijakan yang bersifat represif untuk menghancurkan perlawanan masyarakat terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila.Â
Suharto sebagai presiden dan penanggung jawab seluruh kegiatan KOPKAMTIB disebut mewajibkan ABRI mengambil tindakan represif untuk menghadapi kelompok-kelompok Islam yang dianggap sebagai golongan ekstrem yang harus dicegah dan ditumpas seperti penanganan G 30 S. Akibatnya, dalam Peristiwa Tanjung Priok 1984, sekitar lebih 24 orang meninggal, 36 terluka berat, 19 luka ringan.Â
Keempat, peristiwa Talangsari 1987 di mana aparat keamanan mengambil tindakan represif terhadap kelompok-kelompok Islam yang dianggap ekstrem; menyebabkan 130 orang meninggal, 77 orang mengalami pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, 53 orang terampas kemerdekaanya, 45 orang mengalami penyiksaan, dan 229 orang mengalami penganiayaan.Â
Kelima, Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998) berupa operasi militer yang menyebabkan penderitaan dan penindasan berkepanjangan bagi masyarakat, khususnya perempuan dan anak-anak.Â
Investigasi Komnas HAM menegaskan bahwa selama 10 tahun DOM, sedikitnya 781 orang meninggal, 163 orang hilang, 368 orang mengalami penyiksaan/penganiayaan dan 102 perempuan mengalami pemerkosaan.Â
Keenam, DOM Papua (1963-2003) bertujuan untuk mematahkan perlawanan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Operasi ini mengakibatkan terjadinya beberapa peristiwa yang sangat kejam. Â
Beberapa peristiwa tersebuat adalah: (1) tragedi Teminabun 1966-1967, 500 orang ditahan dan kemudian dinyatakan hilang; (b) tragedi Kebar 1965, 23 orang terbunuh; (c) tragedi Manokwari 1965, 64 orang dieksekusi mati; (d) Tragedi Enatorali 1969-1970, 634 orang terbunuh; dan (e) tragedi Jayawijaya dan Wamena Barat, kurun waktu 1970-1985, terjadi pembantaian di 17 desa.Â