Ketakutan akan munculnya wacana-wacana Barat berupa kebebasan berpikir dan bertindak serta berkembangnya demokrasi yang sebenarnya dianggap membahayakan pembangunan karena bisa mendorong gerakan perlawanan, mendorong rezim untuk memosisikan budaya nasional sebagai cerminan nilai-nilai luhur bangsa.
Pada dasarnya, konsep ini tidak jauh berbeda dengan konsep yang dikembangkan rezim Soekarno, tetapi memiliki kepentingan politik yang berbeda. Pada masa Soekarno konsep kepribadian bangsa digunakan untuk mengembangkan nasionalisme dan menyelesaikan proyek “revolusi yang belum selesai.”
Sementara, pada masa Soeharto lebih diarahkan pada usaha untuk mendukung keberhasilan pembangunan. Maka, budaya nasional yang bisa mendukung penghayatan dan pengamalan Pancasila serta menghadirkan nilai-nilai positif merupakan rambu-rambu normatif kebijakan negara dalam hal budaya dan ekspresi kultural yang diproduksi oleh aktor-aktor kultural.
Konsekuensinya, segala penyimpangan dari kepribadian bangsa dalam ekspresi kultural akan mendapatkan sanksi yang tegas, baik berupa gunting sensor film maupun pencekalan pertunjukan seni.
Penekanan wacana budaya nasional sebagai kepribadian bangsa dan kesadaran nasional dalam idealisasi negara memiliki dua fungsi strategis, yakni “mencegah berkembangnya nilai-nilai sosio-kultural kedaerahaan yang berpotensi menyemaikan politik identitas” dan “menganggulangi pengaruh budaya asing yang negatif.”
Penekanan tersebut merupakan bentuk kontrol rezim negara terhadap tumbuhnya gerakan di tingkat lokal yang akan menghambat program investasi transnasional ataupun nasional di wilayah-wilayah daerah, baik dalam aspek pertambangan, perkebunan, dan lain-lain.
Sementara, budaya asing (modernitas yang mengutamakan kebebasan individual) juga dibaca sebagai nilai dan praktik yang membahayakan bangunan kepribadian bangsa. Meskipun demikian, untuk aspek-aspek kemajuan seperti pendidikan dan investasi ekonomi diposisikan sebagai sesuatu yang baik sehingga masyarakat perlu dipersiapkan agar bisa menyerapnya.
Untuk menjelaskan pentingnya modernitas yang baik untuk negara dan bangsa, rezim menggunakan istilah “budaya luar” yang terkesan netral, bukannya budaya asing yang terkesan negatif.
Pemahaman-pemahaman tersebut, pada dasarnya, bertujuan menyukseskan Trilogi Pembangunan (stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan hasil-hasil Pembangunan) sebagai acuan utama rezim Orba dalam menjalankan pembangunan nasional.
Penekanan utamanya adalah pada aspek pertumbuhan dan kemajuan ekonomi, baik dalam lingkup kota besar maupun daerah terpencil karena diidealisasi akan menurunkan angka kemiskinan dan mensejahterakan masyarakat. Bukan hanya aspek industri yang digunakan untuk meningkatkan kekuatan ekonomi nasional, tetapi juga sektor pertanian dengan program intensifikasi dan massifikasi.
Sementara, industri budaya pop yang memberikan hiburan kepada massa dan berorientasi komersil berkembang pesat. Untuk mendukung target ekonomi tersebut dibutuhkan “stabilitas nasional” berupa ketertiban, keamanan, dan integrasi sosial.