Identitas adalah nama-nama yang kita berikan pada cara-cara berbeda bagaimana kita diposisikan oleh, dan memosisikan diri kita ke dalam narasi-narasi masa lampau serta bagaimana kita diposisikan dan memosisikan diri dalam kehidupan kontemporer.Â
Artinya, identitas adalah perjuangan untuk memosisikan dan diposisikan dalam kompleksitas kultural, ekonomi, dan politik yang menjadi warna dominan dalam sebuah komunitas di masa kini yang ditandai dengan percepatan segala aspek kehidupan (Grossberg, 1996).
Dalam konteks tersebut, politik identitas dipahami dalam kerangka yang menandakan kedinamisan dalam identitas kultural seseorang atau komunitas tertentu.Â
Bahwa identitas kultural asal atau kolektif memang masih ada, tetapi percampuran dengan pengaruh-pengaruh kultur lain menjadikan identitas kultural sangat dinamis dan transformatif karena ia merupakan bagian dari sejarah, budaya, dan kuasa yang seringkali menyisakan atau memformat-ulang kedirian kultural seseorang atau komunitas.Â
Pengaruh-pengaruh yang dihadirkan oleh proses historis, baik dalam konteks kolonial, pascakolonial, maupun globalisasi, seringkali menjadikan karakter kultural seorang subjek atau komunitas mengalami transformasi secara terus-menerus dan menentukan kedirian dan referensi-referensi kultural yang lebih diminati dan diimpikan, meskipun tanpa melupakan identitas asalnya.
Artinya, politik identitas memang tetap bisa dilakukan dengan mengusung dan memobilisasi karakteristik esensial kultural sebuah komunitas, tetapi bukan berarti membiarkan elemen-elemen feodal dan elitis menguasainya, sehingga perlu juga proses apropriasi terhadap pengaruh-pengaruh luar yang mampu menggerakkan dan memberdayakan komunitas dalam konteks demokratis.Â
Inilah yang menjadi ciri politik identitas sebagai gerakan sosial baru yang melibatkan partisipasi anggota komunitas dalam prinsip untuk memperoleh kesetaraan dan keberdayaan sebagaimana yang didapatkan oleh komunitas-komunitas lain yang lebih dominan (Rosaldo, 2006).Â
Politik identitas ini tidak memaksakan untuk mempertahankan kemurnian identitas secara menyeluruh yang cenderung membiarkan berlangsungnya kekuasaan elit-elit lokal-feodal dalam gerakan tersebut. Dampaknya, gerakan identitas akan mudah dibajak oleh kekuatan elit dalam komunitas.
Kalau kekuasaan tersebut dipertahankan, maka politik identitas sama saja dengan kolonialisasi internal yang hanya menguntungkan elit-elit tertentu dan membiarkan ketidakadilan sosial terus berlangsung.
Dengan kata lain, ada kesadaran politiko-kultural yang lebih modern (dalam artian memberdayakan semua anggota komunitas, bukan hanya kelas elitnya) ditengah-tengah kesadaran budaya esensisal dalam politik identitas. Konsepsi gerakan seperti itulah yang oleh Spivak dinamakan esensialisme strategis (dikutip dalam Morton, 2007: 126).
Jika seseorang menimbang strategi, maka ia harus melihat di mana sebuah kelompok (orang, orang-orang, ataupun gerakan) disituasikan ketika ia membuat klaim-klaim untuk atau melawan esensialisme. Sebuah strategi menyesuaikan dengan situasi; sebuah strategi bukanlah teori....
Kegunaan strategi esensi sebagai slogan atau kata-utama yang dimobilisasi seperti perempuan atau pekerja atau nama bangsa secara ideal menjadi kesadaran-diri bagi mereka yang dimobilisir.
Mengikuti pemikiran di atas, Setiawan (2012) menjelaskan bahwa mobilisasi  identitas kutlural secara strategis memang bisa digunakan untuk menghadapi pengaruh ragam budaya dan kuasa asing yang masuk ke dalam sebuah komunitas. Namun, "kesadaran-diri" dari semua subjek sangat dibutuhkan agar esensialisme kultural tersebut bisa berhasil.Â