Bahkan, dalam perkembangan kontemporer, anggota dari komunitas etnis partikular berusaha menegosiasikan, mewacanakan, menyebarluaskan, dan memperluas ikatan identitas mereka melalui media sosial internet (Franklin, 2003).Â
Meskipun demikian, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa politik identitas juga seringkali menjadi legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap etnis atau ras lain dalam sebuah negara (Hintjens, 2001) serta menegaskan superioritas etnis dominan dalam kehidupan multikultural (Anagnostou, 2009; O'Neill, 2003).Â
Dalam kasus Indonesia, tentu kita masih ingat bagaimana mobilisasi identitas Dayak dan Madura telah menyulut konflik antar-etnis di Sampit, Kalimantan. Yang diuntungkan, tentu saja, para elit yang berkepentingan.
Politik Identitas Berbasis Konstruksi Sosial dan Esensialisme Strategis
Sebagai antitesis terhadap esensialisme kultural, paradigma politik identitas berbasis konstruksi sosial juga berkembang dewasa ini. Terdapat beberapa asumsi yang dibangun. Pertama, terbentuknya identitas bukanlah sesuatu yang terberi, tetap, dan mapan sepanjang masa tanpa melalui proses sosial dalam konteks historis partikular.
Kedua, identitas mampu mengikat anggota komunitas dalam solidaritas, rasa hormat dan bangga, kesetiaan, dan harapan karena berlangsungnya proses konstruksi sosial dalam beragam wujud dan praktiknya serta dilakukan dari generasi ke generasi, sehingga tampak sebagai sesuatu yang alamiah (Gupta, 2007: 27-28).Â
Konsep ini pada dasarnya masih memunculkan bias esensial karena meskipun mengutamakan berlangsungnya proses konstruksi sosial, identitas masih diposisikan melekat dan mengikat subjektivitas masyarakat tanpa menekankan pada dialektika dengan perubahan zaman.Â
Selain itu, konstruksi sosial model ini masih cenderung mengabaikan persoalan kekuasaan elit dalam politik identitas sebuah komunitas serta melupakan berlangsungnya pertemuan dengan budaya dan ideologi luar.
Paradigma konstruksi sosial yang lebih sesuai dengan konteks perubahan zaman adalah konsep yang dilontarkan oleh Hall (1996). Identitas kultural merupakan persoalan 'menjadi' sepertihalnya 'mengada'. Ia bukanlah sesuatu yang sudah eksis, mentransendenkan tempat, waktu, sejarah, dan budaya.Â
Memang, identitas kultural berasal dari sebuah tempat dan memiliki sejarah (mengada). Namun, ia juga mengalami transformasi konstan. Jauh dari mengada yang abadi, tetap dan pasti dalam beberapa masa lampau yang esensialis, identitas adalah subjek bagi 'permainan' yang berlanjut dari sejarah, budaya, dan kuasa (menjadi).Â