Sebagai kajian dan gerakan, politik identitas yang tumbuh sejak era 1960-an telah mencapai populeritas akademis yang luas. Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya buku dan artikel jurnal yang membahas persoalan ini. Meskipun demikian, dalam konteks Indonesia masih relatif sedikit.Â
Akibatnya, banyak salah tafsir terhadap makna dan gerakan politik identitas sebagai sesuatu yang negatif. Dampaknya, banyak wacana stigmatik terhadap politik identitas. Bahkan, banyak kalangan, khususnya pemerintah dan elit nasional, yang menghimbau agar warga Indonesia tidak memainkan politik identitas dalam hajatan Pemilu 2024.Â
Saya menduga, mereka tidak memiliki cukup informasi tentang sejarah dan kepentingan dalam politik identitas. Mereka hanya melihat mobilisasi agama dan etnisitas dalam beberapa proses politik di tanah air demi kepentingan elit tertentu sebagai politik identitas yang merugikan kepentingan bangsa.Â
Memang benar, beberapa gerakan politik juga memobilisasi identitas agama atau etnis untuk menyukseskan kepentingan elit tertentu, tetapi itu bukan apa yang dikehendaki oleh politik identitas. Dalam sejarah kelahirannya, politik identitas berpihak kepada kepentingan kaum atau komunitas minoritas dan marjinal.
Berdasarkan realitas di atas, melalui tulisan ini saya akan menjabarkan konsep dan kepentingan yang diusung politik identitas. Ini menjadi urgen agar kesalahpahaman tentang politik identitas di tanah air tidak semakin menjadi sehingga mengerdilkan dan menegatifkan gerakan berbasis identitas agama, budaya, etnis, dan yang lain untuk kepentingan kelompok marjinal.
Memahami Politik IdentitasÂ
Sebagai perspektif teoretis, politik identitas yang berkembang mulai era 1960-an membangun konsepsi-konsepsinya dari realitas gerakan kultural yang dilakukan oleh komunitas-komunitas marjinal berbasis gender, ras, etnis, agama maupun bangsa dalam menghadapi kekuatan-kekuatan dominan dalam kehidupan mereka.Â
Dalam konteks etnis, mereka biasanya mengalami pembedaan dalam hal ekonomi, kultural, maupun politik dibandingkan dengan etnis lain yang lebih dominan. Inilah yang kemudian memunculkan istilah "minoritas etnis".Â
Menurut Deschenes (dikutip dalam Alia & Bull, 2005: 2), minoritas etnis memiliki keberbedaan budaya, bahasa, atau, dalam kasus tertentu, praktik beragama, dibandingkan etnis-etnis lain yang lebih dominan.Â