Abdul Fikhar Hadjar, pakar hukum Universitas Trisakti, mengemukakan bahwa korupsi sistemik dilakukan melalui peraturan undang-undang dan keputusan presiden tentang tata niaga; "korupsi yang diselimuti aturan" (Seputra, 2018).Â
Implikasi mengerikan dari praktik tersebut adalah "regenerasi" atau "pengembangbiakan" korupsi di semua ranah pemerintahan; eksekutif, yudikatif, legislatif, hingga aparat keamanan. Akibatnya, tidak ada kekuatan dalam pemerintahan yang berani mengungkap praktik korupsi berbalut aturan tersebut. Â Â
Realitas itu menghasilkan berbagai macam ketidakadilan dan kemiskinan, padahal sila kelima Pancasila dengan jelas menuntut berlangsungnya keadilan bagi semua warga negara.Â
Pemerintah menganjurkan masyarakat untuk melestarikan lingkungan, tetapi pada saat bersamaan mereka mengizinkan perusakan lingkungan atas nama perkebunan dan pertambangan. Inilah yang melahirkan "luka historis" sehingga berdampak kepada keacuhan mereka terhadap segala program dan kebijakan yang berkaitan dengan Pancasila.Â
Apalagi pemerintahan pasca Reformasi yang diharapkan bisa memberikan harapan bagi perbaikan dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan kultural juga masih diwarnai dengan kejahatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.Â
Bahkan, pemberantasan korupsi seperti memasuki era senjakala yang diwarnai kemunduran dalam penindakan dan masih banyaknya praktik korupsi yang melibatkan aparatur negara, wakil rakyat, elit politik, dan pengusaha (Diansyah, 2009; Hertanto & Maryanah, 2022). Â Â
Selain itu, sampai saat ini, masih banyak kejahatan yang melibatkan aparatur negara, elit politik, wakil rakyat, aparat keamanan, dan pengusaha. Tidak hanya korupsi, tetapi juga kejahatan ekologis di mana mereka melakukan bermacam praktik perusakan hutan untuk pertambangan ilegal.Â
Pelanggaran HAM yang melibatkan aparat keamanan, kebijakan yang melegitimasi perusakan lingkungan atas nama pembangunan, pembiaran terhadap tindakan intoleransi terhadap kelompok minoritas, dan tindakan-tindakan destruktif lainnya masih seringkali terjadi.Â
Dalam sistem ekonomi, meskipun Pancasila diposisikan sebagai dasar dalam semua kebijakan dan perundang-undangan, pemerintah semakin terbiasa dengan adopsi kapitalisme pasar yang ditandai dengan bermacam deregulasi hal-hal yang berkaitan dengan publik, seperti pengurangan atau pencabutan subsidi. Â Â
Menjadi wajar kalau banyak warga negara yang mulai berpikir apatis terkait penerapan Pancasila karena penyelenggara negara tidak memberikan contoh terbaik.Â
Ditambah lagi dengan semakin bebasnya ideologi dan gaya hidup asing masuk ke dalam pikiran dan batin warga negara Indonesia, penyebarluasan dan pembumian nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi pekerjaan yang tidak mudah.Â