Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membumikan Pancasila dari Desa melalui Jalan Kebudayaan

13 November 2022   07:51 Diperbarui: 13 November 2022   07:51 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertunjukan angklung caruk di Banyuwangi. Dokumentasi penulis

Meskipun dalam setiap undang-undang dan peraturan pemerintah Pancasila menjadi rujukan utama, hal itu tidak menjamin nilai-nilainya dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah dan warga masyarakat. Sehebat apapun kampanye dan kebijakan yang dibuat oleh Negara, pemahaman terhadap Pancasila memang sudah berubah. 

Namun, apa yang perlu diingat, bahwa kita tidak bisa menyalahkan secara mutlak kaum muda, karena terdapat latar belakang historis, sosial, ekonomi, politik dan budaya yang menyebabkannya.

Titik Balik Pancasila

Banyak orang tidak menyangka bahwa indoktrinasi besar-besaran Pancasila melalui P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) selama Orde Baru akan mudah dilupakan oleh manusia-manusia Indonesia yang hendak dicetak sebagai manusia Pancasilais oleh rezim Suharto. 

Penataran P4 untuk warga dewasa dan kaum muda, dari desa hingga kota, dilangsungkan dengan pedoman baku berupa Butir-butir Pancasila. Namun, pasca ambruknya rezim Suharto, Pancasila seperti diposisikan tidak begitu penting lagi sebagai identitas warga masyarakat. Sampai-sampai, (alm) B.J. Habibie dalam sebuah acara refleksi Hari Lahir Pancasila memaparkan:

... sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. . (Maharanie, 2011)

Peringatan yang diberikan Habibie, tentu bukan omong-kosong. Bermacam kasus intoleransi agama, konflik etnis, ketidakadilan ekonomi, eksploitasi alam secara besar-besaran dan destruktif merupakan tanda bahwa Pancasila mulai diabaikan dari memori kolektif bangsa. 

Yang disasar Habibie sejatinya bukan hanya warga negara, tetapi juga elit pemerintahan, parpol, pemodal, dan yang lain. Memang, Pancasila masih diucapkan dalam acara-acara kenegaraan, tetapi semakin banyak elit pemerintahan dan warga negara yang tidak paham substansinya. 

Sistem ekonomi Pancasila yang dulu dikembangkan oleh para ekonom pun semakin tidak familiar karena adopsi kapitalisme neoliberal dalam sistem perekonomian Indonesia.  

Peserta Dialog Interaktif di Balai Desa Sukoreno, Umbulsari, Jember. Dokumentasi penulis
Peserta Dialog Interaktif di Balai Desa Sukoreno, Umbulsari, Jember. Dokumentasi penulis

Salah satu perspektif yang menguat di tengah-tengah komunitas kritis adalah bagaimana rezim otoriter memanfaatkan Pancasila untuk menopang kekuasaannya dengan bermacam tindakan yang mengancam warga negara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun