Pada beberapa peristiwa monolog penonton diajak masuk ke dalam ruang perjuangan menemukan dan memperjuangkan budaya lokal yang dikeramatkan. Pada beberapa peristiwa lain, penonton diajak menggugat kemapanan makna terkait budaya warisan leluhur yang sudah terlanjur diyakini oleh warga masyarakat.
Kemapanan yang berimbas pada kesalahpahaman kultural terjadi karena warga tidak berusaha memahami makna yang ada dalam sebuah wujud atau nilai budaya.
Penghadiran tokoh Sadagora alias Dalang Panjimas melalui mimpi Pecakar, menegaskan hadirnya subjek resisten yang menggugat apa-apa yang sudah dianggap benar oleh mayoritas warga dalam memaknai dan memahami sesuatu yang sering dilabeli budaya lokal atau budaya tradisional.
Resistensi diskursif yang dilakukan pun tidak tanggung-tanggung, langsung oleh subjek pelaku yang dulunya memiliki Kayon dan perlengkapan wayang serta sering menggelar pertunjukan untuk warga sebelum meninggal.
Subjek pelaku yang memahami dengan benar maksud dan tujuan gelaran wayang diposisikan “tidak terima” dan “hadir-kembali” untuk memberikan pemahaman bahwa karya seni etnis seperti wayang tidak bisa hanya dipahami dalam dimensi nilai atau makna kultural.
Namun, pemahaman akan makna kultural juga tidak boleh diabaikan. Apa yang diharapkan oleh subjek pelaku wayang adalah bahwa kekayaan makna itu harus bisa menjadi ajaran yang dicintai warga sekaligus bisa membahagiakan mereka.
Dengan demikian, penekanan yang diberikan adalah pada dimensi makna/wacana dan praksis yang akan menjadikan ekspresi budaya lokal bisa tetap terpelihara.
Tentu saja, dalam kondisi terkini, usaha itu harus menjangkau kemungkinan-kemungkinan yang bisa menjadikan generasi penerus bisa mencinta dan memahami untuk selanjutnya mau mengembangkan. Kekakuan dalam memaknai budaya lokal hanya mengakibatkan kematian demi kematian atau kehilangan demi kehilangan yang menyakitkan, tetapi kita tidak berdaya untuk mencegahnya.
Maka, menarik untuk menyoroti penghargaan sebagai Pemuda Pelopor yang diberikan kepada Pekacar. Sebagai representasi subjek yang patuh dan ikhlas memberikan tenaga, pikiran, dan batinnya terhadap Makam Buyut dan Cupumanik tempat Kayon disimpan, ia diposisikan sebagai subjek di-antara, in-between subject.
Di satu sisi ia masih meyakini kehebatan dan kekeramatan Kayon Buyut dan, di sisi lain, melalui mimpi hilangnya ‘jimat wasiat’ tersebut ia menemukan pemahaman-pemahaman baru yang bisa jadi akan mengubah mindset nya dalam memahami warisan leluhur.
Dalam posisi “keberantaraan” dan “ambivalensi” itulah anugerah Pemuda Pelopor dan open ending lakon ini harus dibaca. Dia diberikan keleluasaan untuk tetap mencintai budaya lokal tetapi dengan pemahaman baru terkait kompleksitas makna yang ada di dalamnya.