Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Menggugat (Kekaguman terhadap) Warisan Leluhur dalam Monolog "Kayon"

14 November 2022   09:04 Diperbarui: 18 November 2022   15:30 2617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aneka macam Kayon (gunungan wayang kulit). Dokumentasi indoborneonatural.blogspot.com

Memahami-ulang Budaya Lokal

Semua konstruksi ideal dalam pikiran dan batinnya terkait Kayon Buyut yang harus diselamatkan bagaimanapun caranya mulai memasuki ruang kontemplatif ketika berjumpa dengan Sadagora. Ia adalah lelaki setengah baya yang mengaku secara terus-terang telah mencuri Buyut Kayon. Dengan terus-terang ia mengatakan kepada Pekacar, Samedin, dan Sawitri:

Aku mencuri Kayon Buyut karena selama ini hanya dipandang dan dikagumi, tidak dimaknai seperti dulu oleh Dalang Panjimas. Dalang yang mengajarkan nilai-nilai adiluhung kepada semua orang. Buka Kayon dengan indah, menampilkan lakon yang penuh simbol menusia yang beragam, tapi intinya yang jahat dan yang baik, juga ada yang munafik. 

Tokoh-tokoh wayang yang membayang-bayang di perkeliran sebagai cermin kehidupan. Sampai akhirnya tancap Kayon dengan mantap, di mana penonton pulang dengan riang, besoknya bekerja di sawah, di ladang dengan riang. 

Cah angon memandikan kebo-kebonya dengan senang. Pak Tani dan Bu Tani mengolah sawahnya dengan senang. Peladang datang ke ladangnya dengan senang. Semua senang.”

Pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Sadagora merupakan bentuk rasionalisasi berdimensi ideologis yang ‘menghantam’ keyakinan yang selama ini diyakini oleh warga Smara. Bahwa Kayon Buyut memiliki arti penting bagi kehidupan mereka karena terletak di Cupumanik Kabuyutan memang demikian adanya. 

Namun, bagi Sodagara, pilihan untuk semata-mata “memandang” dan “mengagumi” bukanlah tindakan yang tepat. Pada saat itu, Kayon Buyut tidak ubahnya sebuah jimat keramat. Padahal, Kayon Buyut di tangan Dalang Panjimas bisa menjadi karya kultural yang memberikan banyak ajaran dan nilai bagi para penonton, dari Cah Angon (gembala), Petani, hingga Peladang. 

Selain mendapatkan ajaran dari pertunjukan wayang, mereka juga akan mendapatkan hiburan yang membuat bersemangat dalam menjalani pekerjaan dan melakoni kehidupan. 

Pilihan “memandang” dan “mengagumi” yang dikontraskan dengan “memainkan” wayang untuk memberikan nasehat dan hiburan bisa kita sandingkan, misalnya, dengan perilaku banyak orang yang memosisikan benda atau budaya warisan leluhur semata-mata sebagai koleksi, tetapi tidak mau memaksimalkan fungsi mereka untuk kebudayaan dan kerakyatan. 

Kenikmatan visual dan kebanggan kultural yang menjadi orientasi dominan tidak akan menjadikan budaya yang dikagumi beranjak dari kemasalampauhan dan kekeramatannya, tanpa bisa dikembangkan secara dinamis. 

Formasi ini menghasilkan wacana “keadiluhungan wayang dalam praksis” yang menjadi kekuatan kultural bagi manusia-manusia Jawa karena bisa menjadi tuntutan dalam kehidupan sekaligus memainkan sajian menghibur berbasis epos-epos besar seperti Mahabharata dan Ramayana. 

Wacana demikian jelas berbeda dengan wacana wayang sebagai semata-mata kesenian adiluhung yang tidak bisa menggerakkan apa-apa karena hanya dinikmati sebagai hiburan atau sebagai ikon budaya bangsa yang dikeramatkan tetapi tidak dikembangkan. 

Wayang dan kesenian etnis lainnya juga bukan sekedar menjadi bahan kampanye pemerintah tentang pentingnya budaya lokal dalam kehidupan yang semakin terbiasa dengan budaya global. 

Dimensi praksis pertunjukan wayang menjadi wacana yang disebarkan secara internal dalam pertunjukan monolog yang mempengaruhi pemahaman Pekacar, Samedin, dan Sawitri sebagai subjek yang pada awalnya begitu mengagumi Kayon Buyut, sama seperti warga kebanyakan. Penjelasan Sadagora menghadirkan perspektif lain yang berbeda dengan pemahaman masyarakat Smara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun