Wacana itulah yang semestinya dipahami dan dijalankan oleh warga, tetapi malah sebaliknya. Bahkan, ironisnya, ketika Dalang Panjimas meninggal, warga berlomba-lomba menjual semua perlengkapan pertunjukan wayang.
Tentu ini begitu menyedihkan, sekaligus menunjukkan tragedi kebudayaan karena warisan Dalang Panjimas harus berakahir di tangan para tengkulak barang antik. Beruntunglah, ada seorang penjual jamu, Mbok Tambi, yang menggunakan seluruh tabungannya untuk membeli Kayon dan membuat Cupumanik di area Makam Buyut sebagai tempat untuk menaruh barang yang ia beli itu.
Itulah mengapa orang-orang menyebutnya Kayon Buyut. Meskipun tidak dijelaskan motif Mbok Tambi membeli Kayon itu, saya berasumsi bahwa kecintaan terhadap kesenian wayang lah yang menjadi dasar. Ia tidak ingin warga desa benar-benar kehilangan memori komunal akan pertunjukan wayang yang dulu sering dimainkan.
Kita juga bisa melihat kontribusi subjek perempuan dalam menyelamatkan atau, setidaknya, mempertahankan penanda kultural yang akan dikenang dan dihormati oleh warga desa di tengah-tengah kerakusan warga akibat dorongan keuntungan kapital. Menjual perlengkapan pertunjukan wayang sebagai benda antik memang menguntungkan, tetapi Mbok Tambi memilih sikap yang berbeda.
Kalau selama ini budaya diposisikan sebagai ranah lelaki, kehadiran dan kontribusi Mbok Tambi ketika berlangsung masalah terkait keberlanjutan sebuah ekspresi kultural menegaskan bahwa kebudayaan merupakan ranah terbuka di mana subjek perempuan pun bisa mengambil peran strategis untuk menyelamatkannya.
Wacana terkait wayang, nyatanya, memang menjadi poros yang menggerakkan struktur pertunjukan. Pada adegan berikutnya, perempuan pelaku monolog kembali memerankan diri sebagai Sadaroga yang hendak membeberkan nilai-nilai filosofis Kayon. Dengan memeragakan gerakan dalang yang tengah mengangkat Kayon, Sadaroga berucap:
“Jadi, kalau aku curi Kayon Buyut untuk membuat orang desa Smara sadar tentang arti Kayon, lihat apa yang terdapat dalam Kayon. Kalian amati baik-baik. Kayon Gapuran ini diapit oleh dua buto yang membawa gadha atau pedang tameng kelihatan bagus. Ini artinya apa?
Bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk menunjukkan bahwa gapura harus dijaga, pintu menuju surga. Dengan kekuatan gadha, pedang dan tameng, artinya tekad yang kuat, sekuat gadha, sekuat tameng dan setajam pedang.
Pepohonan yang menuju ke atas, rindang dan bercabang-cabang, artinya sejarah kehidupan yang bercabang-cabang. Pepohonan bertumpuk karena sejarah juga bertumpuk, sambung menyambung menjadi satu.
Kalau dipandang supaya kelihatan pisah, bisa berbeda dengan gambar lainnya. Gambar pepohonan besar itu di bawahnya bersambung dengan gambar kolam bersih jernih, ada ikan berenang, senang dan bahagia. Air lambang kehidupan dan ikan lambang penghuninya.
Di kiri kanan terlihat gunung gunung dengan pepohonan yang menunjukan naik turunnya pegunungan, lalu dibatasi melingkar tepung gelang, jadi seperti bentuk gunung, karena itu Kayon suka disebut Gunungan. Lalu binatang-binatang yang hidup sebagai satwa, ciptaan Tuhan.
Beragam dan indah, ada Banteng, ada harimau, ada monyet, Tuhan menciptakan mahluk lainnya selain manusia, yang harus dijaga dan dilindungi. Dan akhirnya sampai keujungnya, perjlanan sejarah manusia akhirnya tiba, pupus.”
Sadagora memberikan nasehat di atas karena ia sadar bahwa warga Smara tidak banyak mengetahui makna-makna kultural yang ada dalam Gunungan dan wayang pada umumnya. Mayoritas mereka hanya paham bahwa Kayon Buyut dikeramatkan. Pemahaman pada tataran permukaan merupakan dampak langsung dari ketidakmauan untuk memasuki kedalaman makna dari sebuah budaya lokal.
Pada akhirnya, ekspresi kultural hanya menjadi penanda yang dirayakan secara turun-temurun tanpa banyak orang yang memahami maknanya. Hanya orang-orang tertentu, seperti tokoh adat, yang memahaminya. Wacana yang mempengaruhi subjek bukanlah wacana ataupun pengetahuan tentang makna kultural, tetapi struktur permukaan tentang keindahan ataupun kekeramatan.
Bahwa yang keramat adalah makna kultural yang semestinya bisa menjadi panutan dalam menjalani kehidupan di muka bumi. Wacana keadiluhungan wayang kembali dihadirkan dalam even monolog yang memerankan Sadagora.
Sekali lagi, wacana dikonstruksi sebagai kritik atas konsep pengeramatan yang tidak berdampak apa-apa selain hilangnya pemahaman warga terhadap kekuatan kultural yang sebenarnya dari Kayon Buyut, yakni kedalaman makna yang bisa bermanfaat untuk kehidupan manusia dalam hubungan dengan makhluk lain dan kekuatan adikodrati.
Dengan wacana-wacana itu, pada awalnya, saya membayangkan bahwa Pekacar akan membuat tindakan yang menerobos keyakinan warga terhadap Kayon Buyut. Bagaimanapun, pemaparan yang diberikan Sadagora memberikan titik-balik dalam pikiran dan batinnya. Namun, penulis monolog ini ternyata tidak mau memberikan ‘solusi langsung’.