Pada 5 November 2019, Dewan Kesenian Kampus (DKK) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember menggelar Parade Monolog di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Jember. Salah satu penampil adalam aktor dari Teater Q-SA SMAN 1 Jember dengan lakon Kayon, karya Arthur S. Nalan.
Bagi saya, naskah standar yang biasa digunakan dalam FLS2N Tingkat SMA ini menuntut kecerdasan sutradara dan pelaku dalam menafsir dan memaikan teks dinamis terkait kesenian tradisional. Keberanian pelaku monolog perempuan untuk memainkan naskah ini, tentu saja, harus diapresiasi karena saya bisa merasakan keseriusan dan totalitas yang ia jalani selama proses latihan.
Kelincahan, kecepatan, dan ketepatan tafsir atas pergantian suasana, perubahan sikap dan perilaku, dan dinamika tuturan merupakan bukti bahwa pelaku monolog perempuan memiliki kekuatan pikir dan imajinasi.
Pertunjukan monolog Kayon dimulai dengan teriakan-teriakan warga yang menginformasikan hilangnya “Kayon Buyut”. Dalam cerita, Kayon Buyut adalah gunungan wayang kulit yang diletakkan di Kabuyutan Smara. Kayon itu merupakan peninggalan Dalang Panjimas yang dulu cukup terkenal.
Adegan pembuka ini berada di alam mimpi perempuan desa, bernama Pekacar, tukang sapu dan tukang masak di Kabuyutan. Mimpi itu membuat dia khawatir karena Kayon Buyut cukup dihormati oleh warga Smara, sehingga disimpan di tempat khusus. Hilangnya kayon tentu akan menimbulkan bencana warga.
Mengapa? Karena warga desa mengeramatkannya. Pekacar, masih dalam mimpi, ingat omongan juru kunci Kabuyutan, Wak Karjan, tentang apa yang harus dilakukan warga ketika Kayon Buyut hilang. Meskipun demikian, ia tidak bilang secara eksplisit.
Ia hanya mengatakan lakon wayang Ramatambak yang bercerita tentang perjuangan Rama dan Hanoman untuk membangun jalan di laut guna menyerang Hastinapura.
Pekacar sangat mengagumi tokoh Hanoman. Dari sinilah perjalanan si Pekacar dimulai. Adegan ini menunjukkan kecerdasan di penulis naskah dalam membuat “mata rantai peristiwa.” Melalui satu kata kunci Ramatambak dan Hanoman, mengalirlah laku yang harus dilakoni Pekacar.
Dalam level teknis, pelaku monolog mampu menyuguhkan adegan demi adegan dengan gaya Hanoman. Ia mulai mengumpulkan daun pisang yang dianggap sebagai Tambakayon. Setelah tersusun, ia membawanya ke Pulau Cemani. Pekacar memperkirakan pencuri berada di pulau itu.
Adegan awal ini merupakan penggambaran atmosfer perdesaan yang masyarakatnya dikonstruksi masih memosisikan peninggalan leluhur sebagai sesuatu yang dikeramatkan karena diyakini bisa mempengaruhi kehidupan mereka, seperti Kabuyutan dan Kayon Buyut.