Adegan dua aktor yang menutup kepala mereka dengan galon air mineral, menurut saya, mewacanakan dua realitas: air dalam kemasan yang tengah menguasai kita dan air yang dikuasai oleh swasta. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, air dalam kemasan dengan bermacam variannya seperti air mineral, air demineral, air oksigen, dan air alkali memang telah, sedang, dan akan menguasai kehidupan kita, sehingga air yang tidak dalam kemasan akan dianggap sebagai tidak sehat.Â
Padahal masih banyak sumber air di sekitar kita yang kualitas airnya cukup sehat. Namun, ketika air dalam kemasan sudah menjadi rezim kebenaran, maka subjek manusia ternyata lebih memilihnya karena bermacam rasionalitas kesehatan yang dilekatkan kepadanya. Itulah mengapa semakin banyak warga yang mengkonsumsinya.Â
Dengan demikian, dalam formasi wacana air sehat, kita bisa melihat kepentingan ekonomi yang menguntungkan pihak swasta. Sementara, realitas penguasaan air oleh perusahaan swasta menjadi bentuk kebobrokan rezim negara dalam mengelola kekayaan alam Indonesia.Â
Semestinya, kalau mengikuti UUD 1945, air harus dikuasai oleh negara dan peruntukannya untuk kesejahteraan rakyat. Ketika dikuasai perusahaan, keuntungan sebesar-besarnya diberikan kepada swasta dan rakyat disuruh membeli dengan harga mahal. Maka, adegan kedua aktor yang menutup kepalanya dengan galon dan hanya mengenakan celana dalam merupakan ejekan sarkastik terhadap ketidakberesan kebijakan pemerintah dalam mengatur air sehingga menyerahkannya kepada swasta.Â
Memang pada Pebruari 2015 UU No. 7 Tahun 2004 sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) setelah organisasi Muhammadiyah, beberapa organisasi kemasyarakatan dan individu-individu tertentu melakukan judicial review. Kenyataannya, pemerintah sudah menerbitkan peraturan yang menjamin-kembali eksploitasi sumberdaya air.Â
Bahkan, di daerah tertentu, seperti Jember, pondok pesantren pun membuat air dalam kemasan dengan tujuan ideal untuk memberdayakan umat, meskipun dalam kenyataannya jelas menguntungkan pemilik pesantren yang bekerjasama dengan pemodal besar.Â
Percumbuan agama dan pemodal memang menjadikan proyek swastanisasi sumberdaya alam, termasuk air, menjadi lebih mudah. Apalagi kalau air yang diproduksi itu dikaitkan dengan ritual tertentu yang diikuti oleh ribuan jama’ah. Swastanisasi berjalan dengan mudah karena akal sehat pembuat kebijakan telah dan tengah dikuasai oleh pemodal swasta, seperti kepala kedua aktor yang ditutup galon.Â
Pilihan untuk mengenakan galon air kemasan di kepala, menurut saya, adalah teknik teatrikal-cerdas untuk menghadirkan tafsir diskursif yang menohok kepada pembuat kebijakan yang, jangan-jangan, telah menjadi ‘sampah galon’ karena tidak bisa berpikir secara sehat karena malah melegitimasi hasrat akumulasi modal swasta. Â
CATATAN PENUTUP
Uraian di atas hanyalah sedikit pembacaan saya terhadap pagelaran Anatomi Botol. Tentu masih banyak tafsir yang bisa dimunculkan oleh penonton atau kritikus teater.Â