Pejabat negara tidak ketinggalan ikut pula menyalahkan sampah ketika menghadapi permasalahan banjir; dari level pejabat dinas hingga gubernur dan presiden. Bahkan, politisasi sampah sebagai penyebab banjir juga dimainkan oleh calon pemimpin yang akan berkompetisi dalam pemilihan (Harera, 2014).
Semua argumen yang menyalahkan sampah, rasa-rasanya, sudah terlalu membuncah. Ironisnya, beragam argumen menyampahkan sampah malah menegasikan faktor manusia sebagai subjek utama bagi permasalahan menggunungnya sampah.
Di sinilah pentingnya memahami keberserakan sampah dalam Anatomi Botol sebagai kritik terhadap kemampuan nalar manusia yang, jangan-jangan, “sudah menjadi sampah itu sendiri”. Jangan-jangan, kitalah, baik sebagai dosen, guru, mahasiswa, pejabat negara, ataupun warga biasa, yang harus mulai mengendalikan kerakusan untuk menyalahkan sampah dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan reflektif terkait kebobrokan manusia yang menyebabkan keberserakan dan tumpukan sampah.
AIR (DALAM KEMASAN) YANG MENGUASAI DAN AIR YANG DIKUASAI
Adalah kenyataan bahwa selama beberapa tahun terakhir berkembang usaha kreatif untuk mengola-kembali sampah plastik, termasuk botol bekas air mineral. Kehadiran air dalam kemasan botol sudah dirintis sejak era kolonial ketika para penjajah kulit putih membutuhkan air bersih buat keperluan sehari-hari.
Dalam perkembangan mutakhir, air (yang katanya ber-mineral) dalam kemasan menjadi kemutlakan yang tidak bisa ditolak lagi. Dari kota metropolitan hingga wilayah pelosok dusun, air dalam kemasan botol, gelas, ataupun galon sudah semakin biasa; baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk hajatan.
Akibatnya, banyak orang menggunakan air sumur hanya untuk keperluan mandi dan mencuci pakaian. Secara tidak sadar, air dalam kemasan telah menguasai kehidupan kita.
Di balik perubahan budaya air tersebut, kita tidak bisa menegasikan kehadiran perusahaan-perusahaan air minum dalam kemasan yang semakin menjamur selama beberapa dekade terakhir. Untuk mewadahi kepentingan para pengusaha air dalam kemasan, maka dibentuklah Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia (Aspadin).
Sampai dengan 2016 tercatat 700 perusahaan air dalam kemasan beroperasi di Indonesia dengan lebih dari 2000 merk. Mereka beroperasi dengan jaminan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. UU tersebut melegalisasi, melegitimasi, dan menjamin kepentingan swasta dalam mengeksploitasi kekayaan sumber air di tanah pertiwi untuk kepentingan akumulasi modal mereka.
UU ini secara terang benderang barhaluan neoliberal di mana swasta diberikan keleluasaan untuk mengeksploitasi sumberdaya alam, bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan pemodal. Selain itu, pemerintah juga membuat PP Nomor 16 Tahun 2005 Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang menyebut penyelenggara pengembangan SPAM adalah BUMN/BUMN, koperasi, badan usaha swasta, atau kelompok masyarakat.
Maka, dengan UU dan PP tersebut sumberdaya air yang jelas-jelas dalam UUD 1945 dinyatakan dikuasai oleh negara perlahan-lahan tengah dialihkan ke swasta. Inilah ciri khas pemerintah yang berhaluan neoliberal tetapi selalu berlindung di balik Pancasila.