Ketika menikmati permainan ratusan botol plastik dari bermacam jenis minuman, ada juga galon air mineral, saat itu pula saya tidak bisa mengendalikan pikiran untuk tidak memikirkan kahanan konstektual yang bisa melahirkan pemahaman kritis terhadap pertunjukan Anatomi Botol.
Kalau dilacak dengan logika Foucauldian (Foucault, 1981), tentu kita akan menelusuri geneaologi kehadiran botol plastik dalam kehidupan masyarakat Indonesia, dari era kolonial hingga saat ini beserta kepentingan-kepentingan kuasa yang melingkupinya. Namun, saya tidak akan menggunakan keseluruhan prosedur genealogis Foucauldian untuk membaca pertunjukan ini.
Alih-alih, saya hanya akan meminjam metode kritis Foucault untuk melihat partikularitas wacana ke-botol-an yang dikonstruksi dan keterkaitannya dengan beberapa wacana dominan dan peristiwa-peristiwa terkait dalam waktu kontemporer sebagai kahanan kontekstual pertunjukan.
Wacana-wacana kontekstual akan saya rujuk dari berita-berita dari media online terpilih untuk menunjukkan bahwa konstruksi budaya botol plastik dalam pertunjukan bisa disandingkan dengan wacana-wacana kontekstual. Keterhubungan ini bisa digunakan untuk membaca teks Anatomi Botol secara kritis.
MENYAMPAHKAN BOTOL PLASTIK
Keberserakan botol-botol plastik di atas arena pertunjukan mengingatkan saya kepada istilah “sampah”. Terlalu banyaknya volume sampah dan ketidakberesan manajemen sampah dalam kehidupan sehari-hari manusia seringkali dianggap, atau, bahkan diyakini secara akademis, sebagai penyebab terjadinya banjir, penyakit, dan masalah-masalah ekologis akut, seperti kerusakan tanah.
Meskipun botol-botol plastik adalah sampah kimia yang masih bisa didaur-ulang sebagai usaha untuk mengurangi perusakan ekologis dan masalah banjir, keberserakan yang memang sengaja diciptakan dalam lakon ini menunjukkan betapa mudahnya manusia “menyampahkan sampah”, termasuk botol plastik.
Seperti dikatakan Abubakar Ramadan, pembina komunitas Gelanggang dan dosen Fakultas Ilmu Budaya UNEJ, dalam forum apresiasi pasca pertunjukan, selama ini banyak manusia, termasuk pakar dan intelektual, menyalahkan sampah ketika terjadi bencana dan pencemaran, tetapi jarang yang mengatakan bahwa sampah itu sebenarnya ada di dalam benak mereka.
Tradisi menyampahkan sampah adalah tindakan paling mudah untuk menyalahkan subjek liyan tak hidup yang pantas dijadikan sasaran pengalih dari kesalahan manusia itu sendiri. Mereka tidak berisiko memunculkan perdebatan berbusah yang ujung-ujungnya bisa memunculkan citra negatif bagi pihak-pihak yang terlibat.
Ini tidak bisa dilepaskan dari tradisi mencari kambing hitam atau menyalahkan pihak lain ketika terjadi permasalahan yang berdampak luas. Dari pejabat negara hingga intelektual, disadari atau tidak, mereka masih menyimpan tradisi menyalahkan sampah ketika terjadi bencana.
Seringkali hasil penelitian nasional atau internasional digunakan untuk legitimasi saintifik bahwa “sampah memang berkontribusi memperparah banjir” (Utomo, 2014). Legitimasi saintifik tersebut secara gamblang menggunakan logika positivis yang memusatkan pada faktor sampah, bukan faktor manusia.