Ia boleh saja melayani banyak laki-laki dalam setiap harinya, tetapi mereka semua hanya mendapatkan kenikmatan "seonggok daging" dan bukan cinta, karena cinta yang sebenarnya tetap ditujukan kepada Parno. Cinta itu pula yang membuatnya "takut" ketika Shanaz mengatakan malas untuk pulang menemui ibunya di Jakarta.Â
Ekspresi "ketakutan" yang ia lontarkan menandakan betapa ia sebenarnya tidak ingin Parno dimiliki oleh perempuan lain, termasuk Shanaz, yang sudah dianggap saudaranya sendiri. Hal itu merupakan kewajaran ketika seorang perempuan sedang jatuh cinta kepada laki-laki.
Ketakutan itu sekaligus menjadi pembenar bahwa kuasa laki-laki atas nama cinta tidak langsung berasal dari diri laki-laki tetapi berasal dari diri seorang perempuan yang sudah menganggap superioritas laki-laki dalam memilih perempuan yang dicintainya. Dalam kondisi "diperebutkan", laki-laki tetaplah menjadi pemenang karena kuasa ideologis yang dilekatkan pada hubungan heteroseksual cenderung menempatkannya sebagai subjek ideal yang sudah semestinya hadir dalam kehidupan subjek perempuan.Â
Cinta mampu menjadikan "medan penyubur" kuasa subjek laki-laki agar tetap beroperasi melalui konsensus yang berasal dari subjek perempuan. Sebagai subjek superior, laki-laki tidak harus hadir dalam perbincangan sesama perempuan, karena ketidakhadirannya meninggalkan wacana yang akan tetap diperbincangkan oleh mereka. Cinta kepada laki-laki, dalam konteks film ini, merupakan tanda masih kuatnya hegemoni laki-laki di dalam kehidupan perempuan tanpa memandang status sosial maupun pekerjaan.
Semua realitas hegemoni wacana dan praktik ideologis dari subjek laki-laki dalam masyarakat, menjadi kabur dan cenderung hilang dari adegan-adegan yang menandakan "rasa cemburu" yang berkembang dalam diri Ningsih. Ketidakhadiran Parno dalam perbincangan antara Ningsih dan Shanaz memperkuat kesan bahwa bukan Parno yang menyuburkan kuasa cintanya, tetapi kedua subjek itulah yang membuatnya begitu.Â
Apa yang tampak kemudian adalah bagaimana seorang pelacur mencintai seorang laki-laki pengamen dengan sepenuh hati, meskipun sang laki-laki dekat dengan perempuan lain. Perasaan cinta itu diperkuat dengan tindakan yang dilakukan Ningsih untuk memperbaiki rem sepeda Parno yang rusak ke bengkel, seperti terlihat dalam dialog berikut.
Setelah bercakap dengan Shanaz di ruang tamu, Ningsih pamit. Di bangku depan rumah, Parno duduk sendirian. Ia meminta Ningsih untuk berbincang sejenak dengannya. Parno menanyakan kenapa Ningsih memperbaiki rem sepedanya di bengkel. Ningsih tidak mengakui alasannya, malah berpura-pura mengatakan bahwa ia jatuh cinta dengan Lak Tarmili. Ketika Parno terus mendesaknya, Ningsih mengatakan agar Shanaz tidak harus mengobati muka Parno berkali-kali karena jatuh.
Tindakan Ningsih untuk memperbaiki rem sepeda Parno, bisa dilihat dari tiga sudut pandang. Pertama, sebagai wujud cintanya kepada Parno. Ia tidak tega melihat sepeda Parno dengan rem blong yang bisa membuat orang yang dicintainya celaka. Kedua, sebagai bentuk negosiasi cintanya agar Parno mau mengerti cintanya dan tidak menerima cinta perempuan lain, dalam hal ini Shanaz.Â
Pernyataannya yang kasihan kepada Shanaz karena harus mengobati luka di muka Parno, merupakan ungkapan jujur Ningsih yang berusaha menunjukkan cintanya kepada Parno sehingga tidak seharusnya Shanaz yang memberikan pelayanan, tetapi ia sendiri. Ketiga, hasrat cinta kepada Parno telah menjadikannya sebagai subjek yang harus menghargai dan membuktikan cinta itu, meskipun Parno sendiri tidak pernah menyuruhnya memperbaiki rem sepeda.Â
Hal itu sekaligus menandakan betapa kuatnya hegemoni subjek laki-laki dalam hal cinta sehingga subjek perempuan rela melakukan tindakan yang menunjukkan pengabdian, meskipun tanpa diperintah. Dengan penggambaran-penggambaran tersebut, bentuk-bentuk filmis tentang rasa cemburu dan 'pengabdian' Ningsih kepada Parno menandakan kehadiran submitos cinta perempuan (pelacur) dan kuasa laki-laki.