Normalisasi keburukan pelacur, dengan demikian, berlangsung tanpa unsur represif dari pemegang kuasa moralitas maupun agama, tetapi dengan cara pembentukan dan penyebaran wacana-wacana lain yang mengarah kepada ketidakbaikan diri seorang pelacur seperti "perusak masyarakat", "penghancur keluarga", "penyebar AIDS", "perempuan pendosa", "perempuan tak bermoral", "perempuan bejat", dan lain-lain.Â
Semua wacana itu akan membuat para perempuan takut dan menganggapnya sebagai subjek yang patut disalahkan. Pengetahuan itu pulalah yang mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan untuk menertibkan ataupun melarang praktik pelacuran atas nama moralitas, agama, ketentraman sosial, maupun kesehatan.
Seorang perempuan pelacur yang sudah memperoleh stigma dari masyarakat, tentu saja, tidak bisa berbuat banyak untuk melawan kuasa yang dihasilkan dari pengetahuan yang sudah menyebar. Untuk melakukan penyiasatan agar kepentingan ekonominya tidak terganggu, seorang pelacur bisa saja berpura-pura menjadi "pelayan bar", "penyanyi karaoke", ataupun "dosen kuliah malam" dengan nama baru "Norma", seperti yang dilakukan Ningsih.Â
Ia tidak bisa menolak dan keluar dari jejaring wacana ideologis yang sudah dianggap normal di dalam masyarakat. Dengan melakukan "politik nama", seorang pelacur, sebenarnya, Â membayangkan dirinya tetap bisa masuk ke dalam tatanan kehidupan sosial yang dianggap normal.Â
Menjadi "dosen kuliah malam", bagi Ningsih, merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi ketika ia ingin diterima di tempat kos Pak Toyo yang berada di lingkungan masyarakat normal, bukan kompleks pelacuran, sehingga ia akan dianggap sebagai "orang baik-baik" yang berhak memperoleh perlakukan baik pula.Â
Semua itu menandakan bahwa, pada dasarnya, Ningsih tidak kuasa melawan kebenaran-kebenaran konsensual terkait ke-pelacur-an yang ada dengan menutupi profesinya. Dengan itu pula, Ningsih sebenarnya menolak dan tidak suka menjalani profesi sebagai pelacur.
Dengan sebutan "dosen kuliah malam", Ningsih menikmati perlakuan positif dari anggota masyarakat lainnya. Ketika waktu senggang, banyak ibu-ibu mendatanginya, sekedar untuk gojekan (bercanda bersama) atau meminta pendapat dari dosen Norma yang cantik dan pintar. Dosen, tentu saja, berbeda dengan pelacur.Â
Pada diri seorang dosen, masyarakat melekatkan bermacam pandangan positif dan normatif terkait kecerdasan untuk mendidik orang lain serta memahami permasalahan-permasalahan sosio-kultural yang ada. Sanjungan-sanjungan tersebut tidak mungkin dinikmati oleh seorang pelacur sebagai sampah masyarakat yang sebisa mungkin harus dijauhi.Â
Di mata para perempuan tetangganya, Ningsih mampu merubah dirinya menjadi sangat menarik sebagai "dosen yang pintar", sehingga membuat mereka, pada satu kesempatan, bisa sangat serius, dan, di kesempatan yang lain, tertawa. Dengan lancar Ningsih bertutur tentang "kekuatan perempuan" dan bagaimana mereka menghadapi para suami yang mungkin berbuat kurang ajar.Â
Ningsih adalah "dosen yang baik" yang bisa menghadirkan suasana santai dalam 'perkuliahan siang' bagi ibu-ibu sekaligus memberikan wacana baru tentang kekuatan perempuan bagi mereka. Berbeda dengan di tempat melacur di mana tubuhnya hanyalah seonggok daging yang dihargai tidak lebih dari Rp. 50.000,-.Â
Meskipun hanya sesaat, Ningsih berhasil dalam menjalankan usaha survival-nya untuk hidup di "dua ruang sosio-kultural" yang berbeda; di tengah-tengah masyarakat normal yang mengharamkan pelacur dalam ruang kehidupan mereka dan di dalam kompleks pelacuran. Alih-alih menggambarkan kecerdasan Ningsih dalam menghadapi stereotipisasi dan stigmatisasi masyarakat, adegan tersebut semakin menegaskan ketidakkuasaannya untuk mengakui profesi pelacur yang ia jalani selama ini.