BOOMING REALITY SHOW
Pada era 2000-an awal, industri televisi (swasta) Indonesia diramaikan dengan reality show yang berisi kegiatan "bagi-bagi rezeki", seperti memberi uang, memperbaiki rumah, membayar hutang, menikahkan seseorang dengan pasangannya, dan yang lain. Dengan model reality show, bermacam acara bagi-bagi rezeki tampak nyata dan menyentuh.
Reality show bagi-bagi rezeki merupakan genre yang menayangkan masalah keseharian masyarakat dalam bentuk pengambilan gambar yang diusahakan sealamiah dan serealistis mungkin. Para aktor yang terlibat di dalamnya adalah orang-orang biasa yang mengalami sebuah masalah dalam kehidupannya. Acara ini memperoleh rating yang cukup bagus karena dianggap sangat realistis dan dekat dengan persoalan yang nyata, tidak terlalu utopis seperti yang terdapat dalam sinetron.
Beberapa acara reality show yang ditayangkan beberapa stasiun televisi swasta nasional bia dikelompokkan ke dalam dua kategori, antara lain: (1) kategori pemberian rezeki kepada yang membutuhkan dan (2) kategori persoalan cinta kalangan remaja.Â
Untuk kategori pemberian rezeki antara lain: (a) Bedah Rumah, Uang Kaget, dan Nikah Gratis, ditayangkan RCTI; (b) Bedah Musholla dan Pulang Kampung, ditayangkan oleh Trans 7; (c) Tolooooong!, ditayangkan SCTV; dan, (d) Haji Gratis, ditayangkan ANTV.Â
Sementara, yang termasuk kategori percintaan remaja, antara lain: (a) Harap-harap Cemas/H2C, Playboy Kabel, Kontak Jodoh, Cinta Lama Bersemi Kembali, dan Cinta Lokasi, ditayangkan SCTV dan (b) Katakan Cinta (RCTI).
Beragamnya tayangan reality show di atas tentu menandakan betapa acara-acara itu tetap digemari penonton sehingga pemasang iklan tetap berkenan untuk berpromosi di dalamnya. Ini merupakan kejelian para pengelola televisi dalam membaca realitas peristiwa yang ada dalam masyarakat kebanyakan untuk dijadikan komoditas yang laku di pasar media.
Dalam tayangan-tayangan reality show bagi-bagi rezeki, misalnya, kita bisa melihat betapa realitas kemiskinan diolah sedemikian rupa dengan citra-citra visual yang menyentuh hati sehingga orang-orang yang menjadi subjek "orang miskin" kemudian layak untuk diberikan rezeki.Â
Dan, yang selalu dikedepankan kemudian adalah unsur kedermawanan dari pihak kreator acara tersebut, tentu saja dalam hal ini adalah production house dan televisi yang menayangkannya, serta euforia mereka yang ketiban rezeki tersebut, dengan beragam ekspresi lugu orang-orang miskin yang merasa kedatangan sang penyelamat.Â
Berdasarkan pembacaan tersebut reality show bagi-bagi rezeki kiranya cukup menarik untuk dikaji, terutama dalam hal (1) representasi kemurahan hati/kedermawanan (charity), (2) posisi subjek si miskin dalam tayangan tersebut, serta (3) relasi-relasi apa yang sebenarnya sebenarnya beroperasi di balik tayangan tersebut.Â
Membaca reality show bagi-bagi rezeki memang membutuhkan tidak sekedar kekaguman akan kedermawanan sosial, tetapi juga nalar kritis yang harus dilekatkan dalam analisis-analisis kita karena sesuatu yang tampaknya alamiah bisa jadi memang 'dialamiahkan' dengan memperkuat sebuah relasi yang tengah beroperasi di balik tayangan tersebut.Â
Untuk mempermudah analisis dan mendapatkan perbandingan komperhensif, saya hanya akan mengambil beberapa acara reality show bagi-bagi rezeki, yakni Nikah Gratis, Bedah Rumah, Lunas,  dan Pulang Kampung sebagai objek material kajian.Â
REPRESENTASI TELEVISIUAL DAN KONTEKS
Dalam pembahasannya tentang representasi dalam perspektif cultural studies, Hall (1997) mendefinisikan representasi sebagai (1) penggunaan bahasa untuk sesuatu yang bermakna atau merepresentasikan dunia yang penuh makna kepada orang lain; (2) bagian penting dari proses di mana makna diproduksi dan dipertukarkan oleh anggota kebudayaan; (3) produksi makna melalui bahasa, dan; (4) produksi makna konsep dalam pikiran kita melalui bahasa (proses mental).Â
Merujuk pada pengertian-pengertian yang diberikan Hall, representasi televisual bisa didefinisikan secara sederhana sebagai makna dan wacana yang mewujud melalui medium bahasa audio-visual dalam saluran televisi dan disebarluaskan kepada para penonton. Jadi ketika kita melihat sebuah tayangan televisi sebenarnya kita tengah mengkonsumsi representasi yang diwujudkan dalam bahasa audio-visual.Â
Dalam tayangan reality show sebenarnya kita bisa menemukan makna-makna yang seringkali bersifat ideologis tetapi seringkali kita tidak pernah menyadari kehadiran mereka karena memang adegan dan cerita yang digambarkan memang sangat alamiah dan nyata.Â
Maka, saya akan mengunakan pendekatan konstruksionis untuk menelaah konstruksi kepentingan ideologis dan ekonomis dalam reality show terpilih. Melalui pendekatan tersebut, kita bisa menguraikan makna dan wacana apa yang sebenarnya disampaikan oleh pihak production house (PH) dan pengelola televisi swasta beserta kepentingan mereka.Â
Apa yang tidak boleh diabaikan adalah fungsi strategis televisi sebagai media populer yang sangat efektif untuk digunakan sebagai aparat penyebar nilai-nilai hegemonik dari kelompok dominan. Fungsi strategis televisi yang memberikan informasi sekaligus hiburan ternyata mempercepat dukungan konsensual rakyat bagi berlangsungnya kuasa hegemonik.Â
Salah satu negara Eropa yang berhasil menggunakan televisi untuk melanggengkan kekuasaan hegemoniknya adalah Inggris dengan BBC-nya (Hall, 1986; Cardiff & Scannell, 1986). Rezim Orde Baru Indonesia sebenarnya juga mencontoh pola ini, yakni dengan menyebarkan "ideologi pembangunan" melalui RRI dan TVRI yang terbukti cukup efektif melanggengkan kekuasaan selama 32 tahun.Â
Kegagalan pemerintah Orde Baru dalam menjalankan kekuasaan adalah ketika mereka mulai menjalankan kekuasaan dominasi (kekuasaan dengan senjata) sehingga memunculkan perlawanan yang menghasilkan gerakan reformasi dan meruntuhkan rezim tersebut.
Lahirnya iklim keterbukaan yang menjadi semangat reformasi ternyata menghasilkan pemerintah yang semakin dekat dengan kepentingan kapitalisme karena hanya dengan pola itulah pemerintah bisa menjamin berlangsungnya kuasa hegemoniknya. Pertimbangan ekonomi-modal inilah yang kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan populis yang seolah-olah mengartikulasikan kepentingan rakyat kebanyakan yang masih banyak dililit permasalahan ekonomi.Â
Maka lahirlah program semacam BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang bisa dibaca sebagai usaha pemerintah pascareformasi, sejak zaman SBY, untuk memenuhi tuntutan ekonomi rakyat kecil meskipun pemerintah harus menghutang kepada lembaga donor internasional, seperti IMF dan World Bank. Dengan program tersebut, pemerintah tengah membuat sebuah wacana yang menjadi pengetahuan bersama, bahwa "mereka sangat memperhatikan masalah rakyat kebanyakan."
Kalangan industri media juga melihat peluang yang sama dari kemiskinan yang melilit masyarakat. Dengan melakukan komodifikasi kemiskinan, kalangan media kemudian berusaha menjual program kepada industri barang dan jasa di Indonesia. Pilihan untuk membuat acara reality show bagi-bagi rezeki, media terkesan memberikan kontribusi bagi mereka yang membutuhkan.Â
Dan lebih jauh, kalangan industri barang dan jasa juga dikesankan memberikan sebagian rezekinya untuk menyelesaikan permasalahan rakyat miskin. Dalam konteks yang lain, kalangan industri ternyata melakukan hal yang sama dengan program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) di mana perusahaan memberikan program bantuan kepada masyarakat sekitar, terutama kepada usaha kecil dan menengah.Â
Baik reality show bagi-bagi rezeki maupun CSR ingin mengkampanyekan sebuah tanggung jawab perusahaan untuk 'mengentaskan' kemiskinan, namun dalam konteks kuasa, itu semua bisa dibaca sebagai usaha kapitalisme untuk meneguhkan kuasa hegemoniknya di tengah-tengah masyarakat.Â
REALITY SHOW BAGI-BAGI REZEKI
Adalah seorang Helmy Yahya melalui PH-nya yang pertama kali mempopulerkan acara reality show bagi-agi rezeki muncul dalam tayangan televisi swasta nasional. Tayangan-tayangan reality show yang pertama-tama dikonsep Helmy Yahya dan kawan-kawan, antara lain Uang Kaget, Bedah Rumah, dan Nikah Gratis yang semuanya ditayangkan RCTI.Â
Kemudian disusul Tolooong! dan Lunas yang ditayangkan SCTV. Kemudian Jeremy Thomas dan kawan-kawan membuat acara serupa bertajuk Pulang Kampung yang ditayangkan  Trans 7. AN Teve seperti tidak mau ketinggalan, membuat acara serupa bertajuk Haji Gratis.
Satu rumus pokok dari acara-acara yang terkesan berbeda-beda tersebut adalah "komodifikasi kemiskinan dan masalah-masalah yang menyertainya serta dialami langsung oleh masyarakat". Sementara formula yang dipakai adalah pemberian bantuan secara langsung kepada subjek-subjek yang dianggap terlilit masalah kemiskinan.Â
Bantuan-bantuan yang diberikan biasanya berupa (1) pemberian uang tunai dengan jumlah tertentu yang akan digunakan untuk menyelasaikan masalah-masalah yang ada dan (2) pemberian fasilitas yang bisa membantu si subjek keluar dari masalah-masalah yang dihadapinnya.Â
Nikah Gratis, Bedah Rumah, dan Haji Gratis bisa dikategorikan ke dalam reality show yang memberikan fasilitas kepada subjek yang membutuhkan. Sementara Uang Kaget, Lunas, dan Tolooong! masuk ke dalam kategori reality show yang memberikan uang yang nantinya digunakan oleh si subjek untuk menyelesaikan masalahnya.
Nikah Gratis merupakan tayangan yang memberikan bantuan fasilitas kepada mereka yang membutuhkan biaya untuk melaksanakan pernikahan. Subjek yang membutuhkan itu karena kemiskinan yang membelitnya belum bisa melangsungkan pernikahannya dengan perempuan idaman.Â
Si subjek kemudian mengirimkan biodata dan alasan-alasan mengapa ia belum bisa melangsungkan pernikahan kepada PH penyelenggara acara. Dari sekian surat yang masuk oleh PH kemudian diseleksi dan dipilih siapa-siapa yang berhak mendapatkan bantuan. Selanjutnya seorang pemandu acara mendatangi si subjek dan calon istrinya untuk diberikan tantangan sebagai syarat mendapatkan bantuan untuk nikah gratis.Â
Akad nikah dilangsungkan di lapangan terbuka dengan panggung mewah serta dilengkapi dengan pertunjukan elekton yang menarik kerumunan warga untuk turut menyaksikan perhelatan tersebut. Setelah akad nikah, kedua pasangan diberikan hadiah-hadiah seperti televisi, spring bed, lemari, dan lain-lain serta ditambah bonus menginap gratis di salah satu hotel rekanan dari PH sebagai hadiah bulan madu.
Bedah Rumah (mulai tayang di RCTI tahun 2004) digarap dengan konsep perbaikan rumah subjek yang kondisinya cukup memprihatinkan. Biasanya pihak PH menyeleksi surat disertai foto rumah yang dikirimkan tetangga si subjek.Â
Setelah dipilih, seorang pemandu acara datang bersama satu tim renovasi yang siap bekerja dalam waktu 12 jam untuk 'menyulap' rumah menjadi lebih baik. Ketika rumah sedang diperbaiki, si subjek pemilik rumah beserta semua anggota keluarganya diajak ke hotel rekanan PH.Â
Setelah 12 jam berlalu, si subjek dan keluarganya diajak pulang ke rumahnya. Di rumah, kerumunan warga sudah siap menunggu kedatangan mereka. Ketika tabir dibuka, maka kagetlah si subjek karena ia menyaksikan rumahnya sudah berubah total dan menjadi lebih baik sehingga tak jarang "si subjek bersujud di atas tanah untuk mengungkapkan rasa syukurnya".Â
Rumah baru tersebut dilengkapi dengan fasilitas-fasilitias seperti kulkas, televisi, serta spring bed mewah yang tidak pernah bisa dibeli oleh si subjek. Tidak jarang pihak PH juga menghadirkan aparat pemerintah yang turut memberikan bantuan berupa uang maupun fasilitas-fasilitas pelengkap, seperti pemasangan listrik untuk rumah yang belum ada aliran listriknya.
Berbeda dengan kedua reality show di atas, Lunas lebih memilih untuk memberikan bantuan uang tunai kepada subjek yang terlilit hutang kepada pihak lain. Mekanismenya pun sama dengan dua tayangan di atas, PH menyeleksi surat berisi informasi yang berasal dari tetangga si subjek.Â
Seorang pemandu acara akan mendatangi rumah si subjek dan sedikit menanyakan tentang keadaan keluarga si subjek dengan masalah hutang yang mereka hadapi. Biasannya si subjek terlilit hutang yang berkaitan dengan biaya pengobatan salah satu anggota keluarga atau hutang biaya sewa rumah.Â
Si pemandu acara kemudian memberikan uang untuk melunasi semua hutang si subjek. Biasanya si subjek dan keluarganya tidak kuasa untuk menahan air mata sebagai rasa syukur mereka. Segera setelah menerima uang tunai, si subjek langsung melunasi hutang-hutangnya. Selanjutnya si pemandu juga memberikan sejumlah uang tunai tambahan kepada si subjek untuk keperluan mendesak.
Tidak jauh berbeda dengan Lunas, Pulang Kampung juga memberikan bantuan uang kepada subjek tertentu yang merantau di Jakarta dan ia sebenarnya ingin sekali pulang karena rindu untuk bertemu keluarganya. Subjek biasanya digambarkan sebagai individu yang gigih dalam berusaha di kota meskipun penghasilan yang diperoleh tidak seberapa besar.Â
Seorang pemandu akan mendatangi si subjek dan memberikan bantuan uang untuk membeli keperluan yang dirasa mendesak bagi keluarga di kampung. Setelah itu pemandu dengan menggunakan mobil akan mengantarkan si subjek hingga ke kampung halamannya.Â
Setelah si subjek bertemu dengan keluarga di kampung, biasanya ia dan keluarganya menangis serta memeluk pemandu sembari mengucapkan terima kasih. Sesudahnya, pemandu memberikan sejumlah uang kepada si subjek untuk membeli keperluan-keperluan keluarganya.Â
KEMISKINAN DAN DATANGNYA SANG PENOLONGÂ
Penderitaan, kemelaratan, dan kesengsaraan merupakan bagian tidak bisa dipisahkan dari kemiskinan. Di Indonesia problem kemiskinan merupakan realitas yang dialami sebagian besar warga negara yang dikatakan gemah ripa loh jinawi ini. Dari zaman penjajahan hingga zaman reformasi ini, ternyata kemiskinan masih saja menjadi satu "wacana besar" yang menempati 'posisi terhormat' dalam setiap perdebatan akademik para ilmuwan hingga program-program pemerintah.Â
Wacana kemiskinan telah bergulir menjadi formasi diskursif di mana banyak ilmuwan membicarakannya dalam berbagai seminar dan simposium yang berusaha menemukan solusi-solusi strategis. Di level pemerintah, dari masa ke masa, aparat birokrasi telah berusaha menjadikan kemiskinan sebagai tema utama dalam kebijakan-kebijakan pembangunan yang selalu dikatakan pro-rakyat, meskipun kenyataannya sangat jauh dari harapan.
Pada masa pemerintah Orde Baru, misalnya, kita mengenal program PELITA (Pembangunan Lima Tahun) yang dikatakan bisa meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia, meskipun dalam realitasnya cenderung menguntungkan segelintir orang bermodal besar yang juga dekat dengan lingkaran pejabat.Â
Pada masa reformasi, sebagaimana disinggung sebelumnya, pengurangan tingkat kemiskinan juga tetap menjadi prioritas program yang mendesak untuk direalisasikan. Sebagai akibatnya pemerintah membuat kebijakan untuk memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) berupa pemberian subsidi langsung kepada rakyat yang didata sebagai subjek orang miskin, meskipun dalam pelaksanaannya banyak menimbulkan masalah.
Rupa-rupanya acara reality show bagi-bagi rezeki juga tidak bisa dilepaskan dari wacana besar kemiskinan. Para kreator acara ternyata benar-benar peka bahwa kemiskinan telah menjadi realitas sosial yang dialami oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Apalagi hampir setiap hari siaran berita di masing-masing televisi selalu saja menyuguhkan wacana kemiskinan, mulai dari sengsaranya rakyat miskin ketika harga beras naik hingga tangis menyayat para ibu yang rumahnya menjadi sasaran penggusuran.Â
Tanpa disadari, kemiskinan telah menimbulkan empati dalam benak masing-masing penduduk Indonesia. Maka, kreator acara bisa dianggap memiliki kecerdasan dan kepekaan terhadap kondisi keseharian rakyat kecil ketika mereka membuat acara reality show yang membagi-bagikan rezeki kepada mereka.Â
Dengan kata lain, kreator menggunakan kemiskinan sebagai 'bahan dasar' acara-acaranya. Dan, bisa ditebak, acara-acara tersebut langsung mendapat sambutan positif dari masyarakat karena mereka sudah lama merasakan penderitaan sehingga melalui acara-acara tersebut mereka menemukan sosok "sang penolong" dermawan di tengah-tengah penderitaan.
Kemurahan hati dan kedermawanan yang mengedepankan kepedulian dan kedermawanan kepada sesama, dengan demikian, menjadi wacana turunan dari wacana besar bernama kemiskinan. Dan dalam kehidupan sosio-kultural sebenarnya kita bisa menjumpai kedermawanan sebagai praktik yang dianjurkan oleh semua agama.Â
Dalam cerita rakyat kita juga sering mendengar hadirnya tokoh-tokoh mesian yang membantu rakyat jelata. Bahkan konsep kedermawanan juga sering digunakan oleh agama atau partai politik tertentu untuk melancarkan misi keagamaan atau politisnya. Dengan kata lain kedermawanan bisa dikatakan sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sosial masyarakat.Â
Adanya pihak-pihak yang akan melakukan kedermawanan dalam segala bentuknya telah menjadi pengetahuan bersama di dalam masyarakat yang mana para aktornya adalah mereka yang mempunyai kelebihan modal.
Dan apa-apa yang disuguhkan oleh reality show sebenarnya tidak lebih dari representasi audiovisual dari kedermawanan. Reality show dengan demikian merupakan salah satu aparatus intitusional dari kedermawanan yang semakin meneguhkan posisi pihak-pihak yang melakukan praktik kedermawanan dalam masyarakat.Â
Karena acara ini langsung menyentuh kebutuhan mendasar dari masyarakat miskin maka keberadaannya diyakini sebagai sebuah kebenaran mutlak, regime of truth. Pihak-pihak yang berperan serta dalam acara ini kemudian menempati posisi sebagai 'dewa penolong' Â yang dengan gigih telah memperjuangkan nasib si miskin. Lalu siapakah dewa penolong dalam reality show bagi-bagi rezeki?
Karena acara reality show merupakan produksi sebuah rumah produksi yang ditayangkan stasiun televisi tertentu, maka para dewa penolong dalam tayangan tersebut adalah (1) person dalam institusi rumah produksi; (2) stasiun televisi yang menayangkan; dan, (3) para sponsor, dalam hal ini adalah sponsor yang langsung terlibat dalam acara dengan memberikan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan.Â
Ketiga subjek tersebut bisa dikategorikan sebagai dewa penolong karena masing-masing memainkan peran dominan dalam terselenggaranya acara reality show bagi-bagi rezeki. Person-person dalam rumah produksi merupakan elemen pertama yang dengan daya kreatifnya mampu memvisualkan kemiskinan dan kedermawanan dalam sebuah bingkai acara yang begitu menyentuh bagi pemirsa.Â
Stasiun televisi berperan dalam menyiarkan secara luas acara reality show sehingga semakin banyak khalayak yang menontonya. Sedangkan para sponsor berperan sebagai penyedia modal dengan memasang iklan perusahaan mereka dalam acara tersebut. Tanpa sponsor, reality show bagi-bagi rezeki bisa dipastikan tidak akan sukses.Â
MEMBACA KUASAÂ
Integrasi yang cukup sinergis dari ketiga elemen dominan dalam reality show berhasil menghadirkan representasi audiovisual yang cukup memukau di layar kaca. Representasi tersebut mengedepankan satu tawaran pengetahuan bahwa di tengah-tengah penderitaan si miskin tetap ada orang atau pihak bijak yang memberikan sedikit rezekinya demi kebahagiaan si miskin. Dalam hal ini si bijak adalah ketiga subjek di atas yang merupakan representasi dari kekuatan kapital.
Kedermawanan yang diusung acara reality show bagi-bagi rezeki dilihat dari perspektif kemanusiaan, merupakan perbuatan yang cukup mulia dan bijak karena kekuatan modal berkenan sedikit membantu mereka yang membutuhkan. Namun, yang harus dipahami adalah bahwa kelas modal tidak akan pernah begitu saja memberikan sedikit modalnya tanpa tendensi tertentu.Â
Mereka selalu ingin mengamankan posisinya dalam masyarakat sehingga mereka harus menjalankan program yang cenderung populis, membela kepentingan rakyat kebanyakan. Dengan demikian, rakyat kebanyakan akan merasa kepentingannya juga diartikulasikan oleh kelas modal sehingga mereka larut dalam jejaring kapital tanpa menyadarinya.Â
Dalam konteks ini, bisa dikatakan bahwa acara reality show bagi-bagi rezeki tengah membawa dan melangsungkan relasi kuasa yang cukup hegemonik ke tengah-tengah masyarakat. Hegemoni merupakan kekuasaan yang dibangun oleh kelompok dominan dengan basis moralitas dan budaya, dengan meminimalisir kekerasan (Boggs, 1984).
Kuasa hegemonik yang ditampilkan oleh kelas-kelas modal memang sangat halus karena menggunakan konsep kemanusiaan berupa kedermawanan yang secara langsung membantu subjek-subjek miskin. Melalui kedermawanan itu kelas modal ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka juga bisa berbuat baik dan memberikan kebahagiaan kepada mereka yang membutuhkan.Â
Dengan tawaran tersebut, subjek-subjek miskin dan masyarakat awam diyakinkan bahwa kehadiran kelas modal tidak selamanya jahat dan semata-mata mengeruk keuntungan. Lebih dari itu kelas modal hadir untuk memutar roda ekonomi yang mana sebagian keuntungannya juga diberikan kepada mereka yang menderita. Kapitalisme bisa juga berwajah manusiawi. Dengan tawaran itulah, masyarakat kemudian digiring untuk menyetujui berlangsungnya kuasa kapital dalam sistem sosial secara menyeluruh.
Sinergi antara rumah produksi, televisi, dan sponsor dalam reality show bagi-bagi rezeki dengan demikian menjadi moda kuasa hegemonik yang menutup peluang untuk mengkritisinya, apalagi melawannya. Subjek-subjek miskin yang juga merupakan para korban dari kapitalisme lanjut merasa tidak berdaya untuk melawan ketika pihak yang seharusnya menjadi musuh mereka memberikan bantuan modal untuk melunasi hutang-hutangnya atau untuk biaya pulang kampung.Â
Bagi mereka yang berperspektif ekonomi, penayangan reality show bagi-bagi rezeki mungkin tidak ada bedanya dengan acara televisi lainnya yang bertujuan untuk meraih sponsor sebanyak-banyaknya dan kehadiran sponsor tidak lebih dari sekedar untuk mempromosikan produk dan jasanya.Â
Memang benar, sponsor juga tidak bisa lepas dari kepentingan promosi. Produsen perabot rumah tangga, misalnya, dengan memberikan fasilitas gratis tentu ingin agar produk mereka dikenal oleh para pemirsa. Demikian juga dengan sponsor yang memberikan bantuan uang untuk pulang kampung ataupun fasilitas hotel untuk menginap bagi para subjek miskin yang rumahnya sedang diperbaiki.
Namun yang harus dengan jeli dilihat adalah bagaimana para sponsor dan media serta rumah produksi mencitrakan diri mereka dalam visualitas dermawan. Kedermawanan yang dicitrakan sedemikian rupa jelas merupakan modal simbolik (symbolic capital), mengikuti pemikiran Bourdieu (1994), untuk memperluas penerimaan publik terhadap kuasa hegemonik yang tengah berlangsung.Â
Relasi ideologis-kultural inilah yang membedakan reality show dengan tayangan-tayangan komersil lainnya. Kalau dalam tayangan sinetron, misalnya, masyarakat hanya diajak mengimajinasikan sesuatu yang jauh dari realitas seperti kemewahan kelas elit, sedangkan reality show bagi-bagi rezeki langsung bersentuhan dengan kebutuhan mendesak mereka.Â
Ketika sponsor memasang iklan dalam tayangan sinetron, mereka sebenarnya hanya "menginvestasikan nama" yang diharapkan dikenal oleh pemirsa. Sementara dalam tayangan reality show bagi-bagi rezeki, selain investasi nama, mereka juga "menginvestasikan kesan impresif" tentang kedermawanan sehingga mereka juga menjalankan strategi politis jangka panjang yang sangat efektif dan efisien.
Dengan semakin luasnya penerimaan publik terhadap "politik kedermawanan" yang mereka jalankan, kelas pemodal tentu semakin leluasa memainkan peran dominan karena masyarakat dan pemerintah memberikan dukungan. Pada masa mendatang mereka tentu semakin leluasa untuk memperluas kepentingan bisnis mereka. Politik kedermawanan bisa dibaca sebagai moda kuasa hegemonik bagi kelas pemodal ketika mereka ingin merebut hati rakyat kebanyakan dan sekaligus mengeleminir potensi resistensi rakyat.
MEMBERI IKAN MELUPAKAN KAIL: SIMPULAN
Melihat tayangan Nikah Gratis, Bedah Rumah, Lunas, dan Pulang Kampung secara kritis menggiring kita pada satu pemahaman bahwa para kreator acara-acara tersebut seperti "memberikan ikan melupakan kail". Ini tentu saja tidak jauh berbeda dengan apa-apa yang dilakukan pemerintah pascareformasi, khususnya sejak rezim SBY, yang seringkali memberikan solusi praktis dari masalah-masalah kemiskinan akut, tetapi kurang menciptakan kebijakan-kebijakan yang bertahap dan strategis.Â
Akibatnya, rakyat miskin akan semakin biasa mengharapkan kehadiran dewa penolong yang akan langsung memberikan bantuan praktis, bukan bantuan teknis yang bisa digunakan untuk membuat usaha-usaha strategis sehingga mereka bisa mandiri dalam menyelesaikan masalah kemiskinan mereka.
Reality show bagi-bagi rezeki dengan demikian mengkonstruksi dan menyebarkan wacana rakyat miskin sebagai subjek yang mengharapkan bantuan orang lain. Ini tentu tidak sepenuhnya benar, karena masih banyak warga miskin yang berjuang untuk melanjutkan kehidupan dan mengubah nasib mereka.Â
Apa yang harus dikritisi lebih lanjut adalah kesan bahwa seolah-olah subjek miskin minim usaha dan hanya mengandalkan bantuan. Apa yang tidak pernah diungkit oleh reality show bagi-bagi rezeki adakah faktor penyebab mengapa kemiskinan masih begitu besar di Republik ini. Juga, mengapa jurang antara si kaya dan si miskin sangat jauh.Â
Apakah ada persoalan kebijakan Negara? Apakah ada yang salah dengan sistem ekonomi kita yang katanya berprinsip Pancasila? Yang pasti, para kreator tayangan tersebut tidak pernah menyalahkan eksploitasi para kapitalis yang menyebabkan penumpukan keuntungan pada segelintir elit pemodal dan penguasa di NKRI.
Namun, mungkin kita "terpaksa harus tersenyum manis" karena insan-insan media nasional semakin kreatif dalam menggagas sebuah tayangan. Betapa tidak, kemiskinan yang oleh banyak pemikir sosial dianggap sebagai masalah akut, ternyata di tangan mereka bisa menjadi tayangan yang bisa mendatangkan keuntungan finansial yang cukup besar.Â
Juga, menghadirkan keuntungan ideologis-kultural bagi keberlangsungan kuasa hegemonik kelas pemodal. Dan, rakyat miskin hanyalah penerima pesan dan bantuan yang mungkin sangat membantu dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang, siapa yang tahu? Ya, inilah realitas paradoksal dari sebuah Negara dan bangsa bernama Indonesia.
DAFTAR BACAAN
Boggs, Carl. 1984. The Two Revolution: Gramsci and the Dilemas of Western Marxism. Boston: South End Press.
Bourdieu, Pierre. 1994. "Structur, Habitus, Power: Basis for a Theory of Symbolic Power". Dalam Nicholas B.Dirk, Geoff Eley, & Sherry B. Ortner (Eds). Culture/Power/History: A Reader in Contemporary Social Theory. Pricenton: Pricenton University Press.
Cardiff, David & Paddy Scannell.1986. "Good luck war workers! Class, politics, and entertainment in wartime broadcasting". Dalam Tony Bennet, Colin Mercer, and Janet Woollacott (Eds). Popular Culture and Social Relations. Philadelpia: Open University Press.
Hall, Stuart (ed).1997.  Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University Press.
Hall, Stuart.1986. "Popular culture and the state". Dalam Tony Bennet, Colin Mercer, and Janet Woollacott (Eds). Popular Culture and Social Relations. Philadelpia: Open University Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H