Kuasa hegemonik yang ditampilkan oleh kelas-kelas modal memang sangat halus karena menggunakan konsep kemanusiaan berupa kedermawanan yang secara langsung membantu subjek-subjek miskin. Melalui kedermawanan itu kelas modal ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka juga bisa berbuat baik dan memberikan kebahagiaan kepada mereka yang membutuhkan.Â
Dengan tawaran tersebut, subjek-subjek miskin dan masyarakat awam diyakinkan bahwa kehadiran kelas modal tidak selamanya jahat dan semata-mata mengeruk keuntungan. Lebih dari itu kelas modal hadir untuk memutar roda ekonomi yang mana sebagian keuntungannya juga diberikan kepada mereka yang menderita. Kapitalisme bisa juga berwajah manusiawi. Dengan tawaran itulah, masyarakat kemudian digiring untuk menyetujui berlangsungnya kuasa kapital dalam sistem sosial secara menyeluruh.
Sinergi antara rumah produksi, televisi, dan sponsor dalam reality show bagi-bagi rezeki dengan demikian menjadi moda kuasa hegemonik yang menutup peluang untuk mengkritisinya, apalagi melawannya. Subjek-subjek miskin yang juga merupakan para korban dari kapitalisme lanjut merasa tidak berdaya untuk melawan ketika pihak yang seharusnya menjadi musuh mereka memberikan bantuan modal untuk melunasi hutang-hutangnya atau untuk biaya pulang kampung.Â
Bagi mereka yang berperspektif ekonomi, penayangan reality show bagi-bagi rezeki mungkin tidak ada bedanya dengan acara televisi lainnya yang bertujuan untuk meraih sponsor sebanyak-banyaknya dan kehadiran sponsor tidak lebih dari sekedar untuk mempromosikan produk dan jasanya.Â
Memang benar, sponsor juga tidak bisa lepas dari kepentingan promosi. Produsen perabot rumah tangga, misalnya, dengan memberikan fasilitas gratis tentu ingin agar produk mereka dikenal oleh para pemirsa. Demikian juga dengan sponsor yang memberikan bantuan uang untuk pulang kampung ataupun fasilitas hotel untuk menginap bagi para subjek miskin yang rumahnya sedang diperbaiki.
Namun yang harus dengan jeli dilihat adalah bagaimana para sponsor dan media serta rumah produksi mencitrakan diri mereka dalam visualitas dermawan. Kedermawanan yang dicitrakan sedemikian rupa jelas merupakan modal simbolik (symbolic capital), mengikuti pemikiran Bourdieu (1994), untuk memperluas penerimaan publik terhadap kuasa hegemonik yang tengah berlangsung.Â
Relasi ideologis-kultural inilah yang membedakan reality show dengan tayangan-tayangan komersil lainnya. Kalau dalam tayangan sinetron, misalnya, masyarakat hanya diajak mengimajinasikan sesuatu yang jauh dari realitas seperti kemewahan kelas elit, sedangkan reality show bagi-bagi rezeki langsung bersentuhan dengan kebutuhan mendesak mereka.Â
Ketika sponsor memasang iklan dalam tayangan sinetron, mereka sebenarnya hanya "menginvestasikan nama" yang diharapkan dikenal oleh pemirsa. Sementara dalam tayangan reality show bagi-bagi rezeki, selain investasi nama, mereka juga "menginvestasikan kesan impresif" tentang kedermawanan sehingga mereka juga menjalankan strategi politis jangka panjang yang sangat efektif dan efisien.
Dengan semakin luasnya penerimaan publik terhadap "politik kedermawanan" yang mereka jalankan, kelas pemodal tentu semakin leluasa memainkan peran dominan karena masyarakat dan pemerintah memberikan dukungan. Pada masa mendatang mereka tentu semakin leluasa untuk memperluas kepentingan bisnis mereka. Politik kedermawanan bisa dibaca sebagai moda kuasa hegemonik bagi kelas pemodal ketika mereka ingin merebut hati rakyat kebanyakan dan sekaligus mengeleminir potensi resistensi rakyat.
MEMBERI IKAN MELUPAKAN KAIL: SIMPULAN
Melihat tayangan Nikah Gratis, Bedah Rumah, Lunas, dan Pulang Kampung secara kritis menggiring kita pada satu pemahaman bahwa para kreator acara-acara tersebut seperti "memberikan ikan melupakan kail". Ini tentu saja tidak jauh berbeda dengan apa-apa yang dilakukan pemerintah pascareformasi, khususnya sejak rezim SBY, yang seringkali memberikan solusi praktis dari masalah-masalah kemiskinan akut, tetapi kurang menciptakan kebijakan-kebijakan yang bertahap dan strategis.Â