Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Reality Show Bagi-Bagi Rezeki: Kedermawanan dan Kuasa

6 April 2022   10:31 Diperbarui: 6 April 2022   10:34 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akibatnya, rakyat miskin akan semakin biasa mengharapkan kehadiran dewa penolong yang akan langsung memberikan bantuan praktis, bukan bantuan teknis yang bisa digunakan untuk membuat usaha-usaha strategis sehingga mereka bisa mandiri dalam menyelesaikan masalah kemiskinan mereka.

Reality show bagi-bagi rezeki dengan demikian mengkonstruksi dan menyebarkan wacana rakyat miskin sebagai subjek yang mengharapkan bantuan orang lain. Ini tentu tidak sepenuhnya benar, karena masih banyak warga miskin yang berjuang untuk melanjutkan kehidupan dan mengubah nasib mereka. 

Apa yang harus dikritisi lebih lanjut adalah kesan bahwa seolah-olah subjek miskin minim usaha dan hanya mengandalkan bantuan. Apa yang tidak pernah diungkit oleh reality show bagi-bagi rezeki adakah faktor penyebab mengapa kemiskinan masih begitu besar di Republik ini. Juga, mengapa jurang antara si kaya dan si miskin sangat jauh. 

Apakah ada persoalan kebijakan Negara? Apakah ada yang salah dengan sistem ekonomi kita yang katanya berprinsip Pancasila? Yang pasti, para kreator tayangan tersebut tidak pernah menyalahkan eksploitasi para kapitalis yang menyebabkan penumpukan keuntungan pada segelintir elit pemodal dan penguasa di NKRI.

Namun, mungkin kita "terpaksa harus tersenyum manis" karena insan-insan media nasional semakin kreatif dalam menggagas sebuah tayangan. Betapa tidak, kemiskinan yang oleh banyak pemikir sosial dianggap sebagai masalah akut, ternyata di tangan mereka bisa menjadi tayangan yang bisa mendatangkan keuntungan finansial yang cukup besar. 

Juga, menghadirkan keuntungan ideologis-kultural bagi keberlangsungan kuasa hegemonik kelas pemodal. Dan, rakyat miskin hanyalah penerima pesan dan bantuan yang mungkin sangat membantu dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang, siapa yang tahu? Ya, inilah realitas paradoksal dari sebuah Negara dan bangsa bernama Indonesia.

DAFTAR BACAAN

Boggs, Carl. 1984. The Two Revolution: Gramsci and the Dilemas of Western Marxism. Boston: South End Press.

Bourdieu, Pierre. 1994. "Structur, Habitus, Power: Basis for a Theory of Symbolic Power". Dalam Nicholas B.Dirk, Geoff Eley, & Sherry B. Ortner (Eds). Culture/Power/History: A Reader in Contemporary Social Theory. Pricenton: Pricenton University Press.

Cardiff, David & Paddy Scannell.1986. "Good luck war workers! Class, politics, and entertainment in wartime broadcasting". Dalam Tony Bennet, Colin Mercer, and Janet Woollacott (Eds). Popular Culture and Social Relations. Philadelpia: Open University Press.

Hall, Stuart (ed).1997.  Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun