Rusofobia menjadi cara berpikir dan jaringan analitis sekaligus memberikan informasi yang bisa diterima akademisi dan jurnalis yang sudah enggan memperdalam kebenarannya. Sungguh kita menanti adanya jurnalis dan peneliti Barat yang bekerja secara profesional dengan berusaha meniadakan celaan klise serta menggambarkan Rusia yang lebih jujur. Â
Kenyataannya memang sangat sulit untuk melihat perkembangan positif terkait berkurangnya Rusofobia. Mengapa demikian? Karena Rusofobia bukan hanya perwujudan perasaan, tetapi juga berkaitan erat dengan relasi kuasa. Rusofobia bukan hanya penilaian pasif, bukan hanya kumpulan klise dan prasangka.Â
Lebih dari itu, dalam banyak pernyataan elit politik, intelektual, dan jurnalis Barat, kita bisa menemukan bias bias aktif, diadopsi dengan maksud untuk menyakiti atau menunjukkan rendahnya kapasitas orang lain dibandingkan dengan diri sendiri. Itulah mengapa Rusofobia juga bisa dikatakan rasisme dengan tujuan untuk mengurangi yang lain dengan maksud untuk mendominasi dunia denga lebih mudah.Â
Dan inilah yang membuat Rusofobia menjadi fenomena khusus di Barat. Rusofobia berlanjut dengan kategori yang sama yang diidentifikasi Edward Said sebagai orientalisme: perbedaan yang dibesar-besarkan, penegasan superioritas Barat dan penggunaan kisi-kisi analitis yang stereotip.Â
Strategi utama dari wacana Rusofobiaadalah menyediakan subjek yang lengkap dan dapat disesuaikan tanpa batas, tampak canggih dan njlimet bagi akademisi yang bertugas membuat teori tentang Rusia, tetapi begitu populer di kalangan jurnalis yang ingin menempatkannya dalam jangkauan semua orang.
Rangkaian kritik Mettan di atas merupakan seruan kepada semua pihak agar memahami Rusia tidak dengan kerangka kebencian dan ketakutan. Memang, banyak tindakan Rusia dan Putin yang mengganggu keamanan dan kehidupan warga Ukraina. Namun ketika para elit politik, intelektual, dan jurnalis selalu menggunakan ukuran Barat dalam menilai Rusia, maka yang terakhir selalu muncul sebagai keburukan.Â
Cara berpikir seperti itu juga mengabaikan dinamika temuan dan analisis kritis yang memberikan alternatif berpikir dan bertindak terkait perang Rusia-Ukraina. Kesadaran akan konteks dan kesepadanan kasus yang pernah dilakukan Barat terhadap negara-negara lain yang dianggap "bermasalah" padahal tidak demikian adanya, akan memperkaya informasi kritis yang bisa diterima warga masyarakat.Â
Selain itu, dengan tidak mengabaikan kejahatan Barat yang juga menelan korban jiwa jutaan manusia, para jurnalis, elit politik dan intelektual memiliki kemampuan untuk mengakui kejahatan sehingga tanpa harus menemukan identitas hebat mereka dengan cara menempatkan Rusia sebagai sosok jahat di balik cermin.
Apa yang patut disayangkan adalah meluasnya Rusofobia yang memunculkan kebencian dan ketakutan terhadap warga, masyarakat, dan budaya Rusia. Implikasinya bisa sangat parah. Warga Rusia menjadi objek untuk diawasi ketika mereka berada di negara-negara di negara-negara yang menganggap tindakan agresif pemerintah Rusia terhadap negara-negara tetangga semestinya tidak boleh terjadi.Â
Kasus Roman Abramovich yang dipaksa hengkang dari klub Chelsea menegaskan betapa Rusofobia berlangung dalam tubuh olahraga yang paling populer di planet ini. Ketakutan berlebihan dan kebencian yang dipelihara pemerintah Inggris terhadap Rusia memang dipicu oleh perang di Ukraina. Namun, menggunakan Rusofobia untuk membatasi aktivitas olahraga jelas merugikan para pemain dan offisial team yang harus memikirkan pendapatan dan biaya operasional klub.
Yang lebih mengerikan adalah ancaman FIFA yang akan mengeluarkan Rusia dari kontestan Piala Dunia 2022 Qatar. Alasan kemanusiaan untuk menjatuhkan sanksi terhadap sepakbola merupakan bentuk hipokrisi olahraga yang secara benderang dipertontonkan FIFA, karena terhadap Israel mereka tidak berani bersikap tegas.