Sementara, AS ditempatkan sebagai poros demokrasi yang memberikan kebebasan dan mengatur kehidupan bernegara secara benar. Tentu saja, dengan mudah kita menyangga bahwa praktik politik dan militer AS adalah contoh tindakan barbarik dalam demokrasi karena mereka menyerang negara-negara yang berdaulat penuh.Â
Selain itu, ketidakadilan ekonomi dan rasial juga terus berlangsung di AS. Artinya, ketika mengkonstruksi Rusia sebagai "sindikat kriminal" sejatinya Obama menemukan sasaran tembak atas bermacam masalah yang ada di dalam negeri. Dengan menyudutkan Rusia dalam wacana publik, Obama sejatinya menemukan sasaran tepat untuk menutupi semua kesalahan dan kekejaman AS terhadap negara-negara lain.
Joe Biden, presiden AS saat ini, tidak mau kalah dari kolega separtainya. Menyaksikan realitas perang Rusia-Ukraina, ia segera melabeli Putin sebagai "penjahat perang" (https://www.aljazeera.com/news/2022/3/17/explainer-who-is-a-war-criminal). Alasan Biden, tentu saja, berdasarkan tindakan Rusia yang dikatakan sepihak dan ingin menguasai Ukraina serta dampak perang terhadap warga sipil.Â
Banyak media Barat arus utama yang dengan cepat memobilisasi ucapan Biden tersebut. Sejalan dengan Biden, Senat AS juga memberikan label serupa dan membuat resolusi untuk mengeinvestigasi serangan Rusia ke Ukraina.Â
Selain itu, pemimpin politik dari Eropa Barat, seperti Perdana Menteri Inggris Boris Johnson membuat label yang sama. Dikabarkan pula bahwa Mahkama Internasional juga tengah berusaha menyelidiki kemungkinan Putin sebagai penjahat perang, meskipun itu bukan persoalan mudah (https://www.abc.net.au/news/2022-03-17/vladimir-putin-russia-war-crime-investigation-ukraine/100915748).Â
Istilah penjahat perang juga pernah diberikan kepada pemimpin Serbia yang terlibat pembantaian warga Bosnia, demikian juga elit-elit politik lain. Kita tentu sepakat untuk mengutuk segala bentuk peperangan yang mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat sipil.Â
Namun, tuduhan terhadap Putin tersebut mengabaikan akar permasalahan dan juga peran AS dalam menciptakan ketegangan antara Rusia-Ukraina. Lebih dari itu, para elit Barat, termasuk Mahkamah Internasional, tidak pernah melabeli para pemimpin AS dan sekutunya yang mengirimkan pasukan dan membunuh banyak manusia di kawasan Timur Tengah.Â
Jadi, menjadi sangat kentara tuduhan Biden dan Johnson terhadap Putin merupakan wujud ketidakadilan yang sebenarnya karena mereka selalu saja mengabaikan fakta kejahatan perang Barat. Meskipun selalu dibungkus dengan alasan untuk mengamankan kebebasan dan memerangi terorisme yang dikaitkan dengan warga Muslim, tindakan AS dan sekutunya di Timur Tengah semestinya juga dilabeli sebagai kejahatan perang dan para pemimpin yang terlibat di dalamnya adalah penjahat perang.Â
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Biden dan para penggaung tuduhan "penjahat perang" untuk Putin secara sengaja mempertebal derajat Rusofobia warga Barat dengan argumen perang di Ukraina.
Tidak mau ketinggalan, para kolumnis yang membela kedaulatan Ukraina juga menggunakan formasi Rusofobia.  Jonathan Freedland, kolumnis The Guardian, dengan cukup tajam mengatakan bahwa "serangan Rusia kepada Ukraina lebih berbahaya dari serangan bom 9/11 New York."Â
Ia mengingatkan bahwa serangan di New York dan Washington memunculkan seruan keras kepada dunia demokrasi untuk mempertahankan prinsip dasar kebebasan. Menanggapi ancaman yang diberikan Putin, seruan yang lebih keras dibutuhkan dampak serangan Rusia lebih berbahaya dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh para pembajak 9/11 ((https://www.theguardian.com/commentisfree/2022/mar/11/vladimir-putin-war-ukraine-9-11-al-qaida-russia). Â