Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Rusofobia, Melanggengkan Ketakutan dan Kebencian Barat terhadap Rusia

22 Maret 2022   20:58 Diperbarui: 23 Maret 2022   08:56 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
  Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) tersenyum saat menjabat tangan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dalam pertemuan bilateral perdana di Villa la Grange, Jenewa, Swiss, pada 16 Juni 2021.  Dok. AFP PHOTO/SPUTNIK/MIKHAIL METZEL via Kompas.com

Selain itu, pemboman penduduk sipil oleh tentara Ukraina yang melanggar konvensi Jenewa juga tidak diekspos secara jelas oleh elit politik dan media Barat. Alih-alih, mereka mendukung tindakan Ukraina sebagai upaya memadamkan pemberontakan. Inilah bukti betapa hipokritnya para elit AS dan sekutunya.

MELANGGENGKAN RUSOFOBIA DALAM BERAGAM WACANA

Kalau kita telusuri rujukan yang ditulis para pakar, kita akan menjumpai bahwa Rusofobia bukanlah realitas dan praktik yang baru berusia puluhan tahun. Alih-alih, Rusofobia secara genealogis sudah berlangsung ratusan tahun lamanya. 

Guy Mettan, jurnalis senior Swiss,  dalam bukunya Russophobia: From the Great Religious Schism to Anti-Putin Hysteria (2017), secara jeli mengidentifikasi sejarah panjang Rusofobia yang melibatkan bermacam faktor, dari agama, budaya, masyarakat, bangsa, hingga politik kontemporer. Ia juga mengidentifikasi bagaimana masyarakat Perancis, Jerman, Inggris dan AS melestarikan Rusofobia dalam konteks nasional dan persekutuan mereka.

Menurut Mettan, Rusofobia sudah berlangsung lama, setidaknya sejak abad ke-15 dan ke-16 ketika banyak para pelancong gagal memahami masyarakat dan budaya Rusia yang seringkali dikaitkan dengan kebiadaban karena wilayahnya yang begitu luas, liar, dingin, dan tandus. Pandangan klise tersebut tanpa lelah diulangi oleh banyak elit politik, intelektual, dan jurnalis Barat hingga abad ke-21 ini.  

Salah satu yang sangat stereotip tentang bangsa Rusia adalah mereka pada dasarnya kejam dan brutal karena mereka membantai, mendeportasi atau menyiksa minoritas etnis dan pemeluk agama, seperti yang mereka lakukan selama dua perang Chechnya terakhir, meskipun negara tersebut akhirnya memutuskan menjadi bagian Federasi Rusia. Naluri ekspansionis nan brutal digambarkan sebagai karakteristik bangsa Rusia dari masa ke masa.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa Rusia, sepertihalnya semua negara lain, akan melakukan tindakan militer ketika merasa terancam. Ironisnya, banyak pemerintah di negara-negara Barat dan media arus utama mengabaikan tindakan kejam yang mereka lakukan di wilayah berdaulat seperti Somalia, Afghanistan, Irak, Suriah, Libya, dan negara lain dalam seperempat abad terakhir. 

Belum lagi kalau kita bicara korban akibat perbudakan dan kolonialisme yang dilakukan bangsa-bangsa Barat seperti Inggris, Perancis, Belgia, Belanda di wilayah jajahannya, termasuk tindakan pembunnuhan warga Indian oleh pemerintah AS.

Bukankah semua kekejaman itu sungguh mengerikan karena menyebabkan tragedi kemanusiaan dan kebudayaan yang luar biasa? Bukankah semua tindakan AS dan negara-negara Barat di wilayah itu penuh dengan tindakan politik yang hanya berdasarkan pertimbangan dan kepentingan mereka? 

Itulah hipokrisi banyak negara dan media Barat ketika membicarakan Rusia: hening ketika harus membicarakan tragedi yang memekakkan telinga, tetapi melolong seperti sirine ketika membicarakan Rusia. Namun, itu semua memang harus dilakukan agar AS dan NATO tetap memiliki musuh bersama yang menjadi tumpahan dan pengalihan atas dosa besar mereka terhadap bangsa lain, apapun alasannya.

Contoh wacana ketakutan dan kebencian yang dikembangkan sebelum terjadinya perang Rusia-Ukraina, sebagaimana diungkapkan Tsygankov, adalah pernyataan seorang sejawaran AS kelahiran Polandia Richard Pipes secara gamblang menyatakan bahwa bagi Eropa, Rusia bisa lebih berbahaya dibandingkan ancaman Islam dan bin Laden. 

Baginya, meskipun sudah meninggalkan ideologi komunis pasca runtuhnya Uni Soviet, Rusia berusaha untuk menghidupkan kembali status kekuatan besarnya dengan cara-cara baru dan karena itu tetap sama berbahayanya. Pandangan tersebut memiliki kesamaan dengan para elit dari negara-negara eks Uni Soviet. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun