Pun budaya lokal tidak bisa lagi dikatakan sepenuhnya tradisional, tetapi sebuah kompleks yang di dalamnya berlangsung negosiasi ketradisionalan di tengah-tengah modernitas yang berlangsung secara massif.
Selain kontekstualisasi  di atas, pemikiran Bhabha juga bisa menjadi 'teman diskusi' untuk membincang persoalan budaya nasional dan nasionalisme di negara-negara pascaklonial. Di Indonesia, misalnya, aparatus negara, politisi, pemikir, aktor kultural, dan warga negara, sampai dengan hari ini, masih berada dalam tegangan terus-menerus antara menomorsatukan budaya tradisional dan menerapkan budaya modern dalam bingkai kebangsaan pascakolonial.Â
Sayangnya, budaya nasional yang menjadi penopang dari nasionalisme pascakolonial gagal didefinisikan dan diformulasikan karena wacana dominan yang berkembang masih berkutat dalam kerangka biner. Atau, dengan kata lain, tidak mampu melakukan apropriasi-inapropriasi budaya modern yang mau tidak mau harus dimasukkan dalam desain budaya nasional dan nasionalisme Indonesia, tanpa meninggalkan budaya tradisional sepenuhnya.Â
Tentu saja, pemikiran Bhabha harus dimodifikasi dan dikritisi karena dalam konteks Indonesia, persoalan menjadi bangsa modern yang masih mengandalkan nasionalisme teritorial-militeristik ("NKRI harga mati") bertumpang-tindih dengan relasi antarbudaya lokal berbasis etnis/ras yang di satu sisi mampu melintasi garis-batas, tetapi di sisi lain masih dipelihara sebagai basis untuk mobilisasi kepentingan politik dan ekonomi.
TANTANGAN BARU: DARI & TERHADAP PEMIKIRAN BHABHAÂ
Sementara Bhabha banyak menggunakan karya-karya sastra diasporik sebagai pijakan untuk membicarakan mimikri dan hibriditas sekaligus "politik-kultural"nya, perkembangan industri sastra yang semakin ter-pasar-kan memunculkan kekhawatiran tersendiri bagi dirinya.Â
Formula etnografis terkait persoalan budaya masyarakat pascakolonial dalam karya sastra yang ditulis dalam edisi bahasa Inggris, menurut Bhabha, menjadikan para penulis berada dalam posisi problematis (Mitchel, 1995). Menguatnya "kerinduan pascamodern" dalam masyarakat metropolitan yang menghasratkan ke-eksotis-an kultural dari bangsa bekas-jajahan menyebabkan para pemodal membuat "aturan diskursif", yakni representasi etnisitas dalam karya sastra ataupun tulisan-tulisan tentang dunia ketiga.Â
Dalam kondisi ketika penulis menjadi "etnografer" atau "arkeolog" sangat mungkin mereka akan memunculkan keunikan, keanehan, kemarjinalan, ataupun tanda-tanda lain yang membedakan budaya lokal dengan budaya metropolitan secara berlebihan. Re-stereotipisasi dalam bentuk "pemanggungan marjinalitas", meminjam konsep Huggan (2001), dalam karya sastra sangat mungkin muncul demi memenuhi selera pasar di negara-negara maju.Â
Negosiasi terhadap lokalitas maupun etnisitas akan terus dimunculkan, tetapi pemunculan tersebut bersifat problematis, karena bukan lagi dimaksudkan sebagai kekuatan diskursif untuk memperkuat visi komunitas lokal, tetapi sekedar mekanisme untuk memperluas pasar.
Masih terkait dengan permasalahan pasar, kritik tajam diberikan kepada pascakolonialitas, utamanya hibriditas dan keliatan subjektivitas dalam karya-karya representasional dan kehidupan sehari-hari, yang menjadi warna utama kajian pascakolonil karena menegasikan kekuatan dan kelenturan kapitalisme pasar dalam menggerakkan kehidupan masyarakat secara global, termasuk di dalamnya masyarakat pascakalonial (Dirlik, 1994; Parry, 2004).Â
Bahkan, dengan keras, pemikir yang sama-sama menggunakan psikoanalisis Lacan sebagai basis teoretisnya, mengatakan bahwa konsep hibriditas dan "modernitas-modernitas alternatif" dalam kajian pascakolonial memudahkan kapitalisme berfungsi dalam pemunculan jejaring ideologis yang toleran, pusat-yang-berlipat, dan banyak-wajah serta menutupi asal-muasal sebernarnya dari kapitalisme (Almond, 2009: 13).Â