Namun, ia melakukan pembacaan secara kritis dan modifikasi untuk menemukan celah yang bisa digunakan memformulasi pemikiran-pemikiran yang melampaui mereka. Â
Sementara, "kesadaran historis" mendorongnya untuk mengoperasikan pemikiran-pemikiran tersebut ke dalam latar kolonial dan pascakolonial di mana persoalan budaya dan wacana-wacana yang mengkonstruksinya secara biner menempatkan subjek subordinat atau minoritas ke dalam struktur sosial dan politik yang tidak setara.
Dengan dua kesadaran itulah ia menemukan betapa persoalan wacana/pengetahuan dan relasi kuasa berlangsung dalam ambivalensi. Melalui konsep ambivalensi Bhabha melihat adanya proses yang kompleks terkait bagaimana yang dominan 'memandang' yang subordinat, begitupula sebaliknya serta bagaimana yang subordinat mengganggu pengetahuan diskriminatoris sebagai basis relasi kuasa melalui mimikri yang dipenuhi keselipan.Â
Meskipun Bhabha banyak menggunakan wacana yang dikonstruksi dalam teks-teks sastra, baik di masa kolonial maupun pascakolonial, pemikiran-pemikiran yang ia telorkan sangat kontekstual untuk membaca kondisi dan persoalan budaya kontemporer di mana perbedaan dan pertemuan antarkelompok ras maupun etnis berlangsung dalam atmosfer sosial yang semakin kompleks, baik dalam ruang transnasional (khususnya terkait migrasi) maupun nasional.
AMBIVALENSI DALAM MIMIKRI (YANG SEKALIGUS MENGEJEK)Â
Dalam sebuah struktur sosial yang di dalamnya berlangsung ketidaksamaan antara "yang menjajah" dan "yang dijajah" atau "kelompok dominan" dan "kelompok subordinat/minoritas", konstruksi pengetahuan kultural yang dibangun berdasarkan konsep "kita" dan "mereka" merupakan fondasi penting untuk menjalankan relasi kuasa dominasi.Â
Perbedaan-perbedaan rasial dan kultural dipelihara (antagonisme) untuk membenarkan misi pemeradaban karena mereka-subordinat (liyan) harus diarahkan dan dididik agar ter-cerah-kan---berpikir dan bertindak modern. Namun, kedekatan antara penjajah dan subjek jajahan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun institusi pendidikan untuk kalangan elit lokal, tidak bisa menghilangkan memori dan realitas penindasan dalam kolonialisasi maupun dominasi.Â
Kondisi itulah yang memunculkan ambivalensi ketika subjek terjajah atau subordinat melakukan mimikri terhadap budaya dominan, tanpa meyakini kebenarannya secara mutlak. Pun subjek penjajah juga bersikap ambivalen. Di satu sisi, tidak mau menerima sepenuhnya subjek jajahan yang ter-barat-kan karena ketika perbedaan-perbedaan kultural sudah tidak ada lagi lingkaran kekuasaan yang mereka ciptakan bisa rusak.Â
Di sisi lain, mekanisme kekuasaan diharapkan bisa berjalan lebih mudah karena subjek-subordinat-mimikri berhasil "menerjemahkan" pengetahuan budaya dominan sebagai basis dominasi. Janji-janji filsafat Pencerahan, dengan demikian, "dikorupsi" oleh subjek penjejah melalui kekuasaan kolonial yang tidak pernah memberikan kesamaan bagi subjek terjajah.
Mimikri merupakan proses kultural yang memberi peluang berlangsungnya agensi dari subjek kolonial untuk memasuki kuasa dominan sekaligus bermain-main di dalamnya dengan menunjukkan subjektivitas yang menyerupai penjajah tetapi tidak sepenuhnya sama (Bhabha, 1984: 126).Â
Sebagai artikulasi ganda, mimikri memunculkan ambivalensi terus-menerus sebagai bentuk kesadaran agensi yang memunculkan apropriasi dan inapropriasi subjektivitas dalam medan kuasa kolonial.Â