Tentu saja, kritik-kritik tersebut menjadi tantangan tersendiri untuk mengoperasikan sekaligus mengkritisi pemikiran Bhabha karena persoalan kultural masyarakat dalam peradaban pasar memang tidak bisa semata-mata dibaca dari kacamata keliatan subjek subordinat, karena subjek dominan (baca: pemodal) secara lentur pula bisa menginkorporasi hibriditas sebagai mekanisme strategis untuk memperluas pasar.
Apakah kajian pascakolonial benar-benar kurang peka terhadap persoalan neokolonialisme yang dibawa oleh kapitalisme global? Menurut Bhabha (Anfeng, 2009: 170), neokolonialisme yang dilakukan oleh negara-negara maju dan agensi internasional seperti IMF dan WTO maupun pemodal transnasional memang berlangsung, termasuk keterlibatan elit-elit nasional yang berkolaborasi dengan mereka untuk mengeksplotasi negara mereka sendiri.Â
Namun, titik tekan kajian pascakolonial sebagai kajian sastra dan humaniora bukanlah pada proses politik, ekonomi, dan sejarah yang menjadi bagian dari pemikiran neokolonialisme, tetapi pada kompleksitas dan dinamika kultural (internal maupun eksternal) dari negara pascakolonial yang telah melakukan pembangunan, tanpa meninggalkan keterkaitan dengan proses kolonialisasi.Â
Pada titik inilah, Bhabha mengabaikan fakta bahwa kolonialisasi merupakan proses kapitalisme yang berimplikasi pada persoalan kultural (termasuk ambivalensi dan hibriditas). Artinya, ada kekuatan ekonomi dan politik dalam proses historis yang sengaja dinegasikan sebagai penentu kompleksitas kultural dalam masyarakat kolonial/pascakolonial.Â
Sama dengan yang berlangsung dalam neokolonialisasi di mana kapitalisme pasar yang bergerak dalam ranah nasional dan transnasional merupakan salah satu faktor utama dari proses pembangunan di negara-negara pascakolonial serta berimplikasi pada subjektivitas kultural.
Persoalan berbeda muncul dalam karya para sastrawan diasporik yang di negara asalnya berlangsung tragedi kemanusiaan, baik yang disebabkan oleh rezim negara ataupun pertikaian antaretnis/ras serta perbedaan jender serta status sosial. "Migrasi tubuh" yang diikuti "migrasi-diskursif" yang mempertemukan subjek diaspora dengan budaya induk-metropolitan sebagai pengetahuan yang bisa membawa perbaikan hidup.Â
Pertemuan itu bukan lagi menjadi apropriasi yang sekaligus inapropriasi, tetapi menjadi fase apropriasi lanjut yang mendorong mereka untuk memosisikan "tanah air-penuh darah" yang layak ditinggalkan dan "metropolitan-demokratis" yang layak diperjuangkan sebagai "tanah air baru".
Novel Khaled Hosseini, penulis diasporik Afganistan di Amerika Serikat, The Kite Runner, menjadi contoh menarik dari persoalan tersebut. Wacana tentang penindasan etnis minoritas oleh etnis mayoritas yang didukung oleh rezim negara mendorong migrasi tokoh utama ke Amerika. “Impian Amerika" (kehidupan demokratis, kesataraan untuk mendapatkan akses ekonomi dan edukasi) muncul sebagai wacana dominan yang dibayangkan ideal oleh subjek diasporik.Â
Dalam konteks yang berbeda, novel Bambang A. Kartika, salah satu kolega saya di Universitas Jember, Mata Kering Mata Cinta (2010), juga menarasikan kekerasan politik di Indonesia pasca Reformasi 1998 yang mendorong tokoh utama (dengan sangat terpaksa) meninggalkan Yogyakarta dan orang-orang yang dicintainya menuju ke Inggris untuk menyelamatkan diri. Ia akan kembali ketika kondisi politik Indonesia sudah lebih baik.
Eksploitasi naratif tentang tragedi kemanusiaan di satu sisi memang menjadi otokritik terhadap kebangsaan amburadul yang dikelola bukan dengan logika demokrasi, tetapi logika kekerasan yang seringkali berlandaskan perbedaan rasial/etnis, kultural, religi, maupun jender.Â
Di sisi lain, proses tersebut memunculkan, sekali lagi, re-stereotipisasi dan re-binerisme tentang ketidakmampuan subjek pascakolonial untuk menghadirkan kehidupan yang lebih baik tanpa penerapan prinsip-prinsip demokrasi ala negara-negara maju. Mimikri dan hibridisasi memang tidak bertujuan kembali ke "masa lalu" berdaulat (tanah air dan budayanya), tetapi melampauinya untuk melihat apa-apa yang bisa dipertahankan ataupun ditinggalkan.Â