Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keberantaraan, Ambivalensi, dan Hibriditas Budaya dalam Pandangan Bhabha

4 Februari 2022   05:00 Diperbarui: 4 Februari 2022   05:04 4342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Homi Bhabha, intelektual pascakolonial, dalam sebuah seminar. Dok. eusp.org

Namun, ketransparansian hibriditas merupakan bentuk pengingkaran (transparansi negatif) terhadap kekuasaan berbasis diskriminasi karena meskipun terdisiplinkan subjek hibrid terus melipat-gandakan kedirian dan budaya mereka dan mengingkari kebenaran diskriminasi kultural sehingga kekuasaan dimunculkan dan dimaknai secara berbeda, dalam artian tidak sepenuhnya tunduk.

Dalam wacana hibriditas, negosiasi sebagian budaya lokal tetap berlangsung yang darinya kekuatan resisten dalam permainan ambivalensi dan tipu daya pengakuan (meniru sekaligus mengejek, tidak sepenuhnya ditundukkan dalam diskriminasi kultural) tetap hadir. 

Aspek-aspek kultural dominan yang diapropriasi bukan lagi sebagai "simbol" dari kekuasaan, tetapi sebagai "tanda" yang bisa memunculkan makna dan wacana baru yang selip yang menghancurkan fondasi perbedaan kultural secara esensial.

Hibriditas adalah nama bagi pengalihan nilai dari simbol menjadi tanda yang menyebabkan wacana dominan selip... Hibriditas merepresentasikan pembalikan ambivalen dari subjek yang terdiskriminasikan menjadi objek yang menakutkan dan diluarperkiraan bagi klasifikasi paranoid, permasalahan yang cukup mengganggu citra dan kehadiran kekuasaan...

Hibriditas....bukanlah terma ketiga yang yang menyelesaikan tegangan antara dua budaya....dalam permainan dialektis "pengakuan". Pengalihan dari simbol kepada tanda menciptakan krisis bagi beragam konsep kekuasaan berbasis sistem pengakuan: spekularitas kolonial, penulisan ganda, tidak memproduksi cermin yang mana diri menangkap bayangan dirinya; ia selalu berupa layar yang pecah dari diri dan kegandaannya, sang hibrid. 

Metafor-metafor itu sangat tepat, karena mereka menyiratkan bahwa hibriditas kolonial bukanlah sebuah masalah genealogi atau identitas antara dua budaya yang berbeda yang kemudian bisa diselesaikan sebagai isu relativisme kultural. Hibriditas merupakan representasi dan individuasi kolonial problematis yang membalik efek pengingkaran penjajah, sehingga pengetahuan-pengetahuan lain "yang ditolak" masuk ke dalam wacana dominan dan mengasingkan basis kekuasaannya. (Bhabha, 1994b: 113-114)

Ketika kelompok subordinat-mimikri 'menginvestasi' budaya dominan dengan makna-makna baru, pilihan untuk tetap menjalankan sebagain budaya lokal merupakan strategi kultural yang bisa membalik atau mengingkari (meng-inapropriasi) makna yang dikehendaki kelompok dominan. 

Sebagai pengetahuan yang ditolak dalam nalar kekuasaan, budaya lokal masuk ke dalam pengetahuan dominan, katakanlah, budaya modern, sehingga memunculkan krisis epistemologis bagi kekuasaan yang dijalankan dengan hukum-hukum pengakuan terhadap perbedaan. 

Dalam penulisan sastra pascakolonial berbahasa Inggris, misalnya, para penulis memosisikan bahasa ini bukan lagi sebagai simbol kekuasaan subjek penjajah atau subjek metropolitan Inggris atau Amerika Serikat, tetapi sekedar sebagai tanda di mana mereka bisa secara bebas menegosiasikan lokalitas sembari mengartikulasikan modernitas tetapi tidak sepenuhnya.

Dengan kata lain, dalam bahasa metaforis, sang hibrid bukan sekedar percampuran antara yang modern dan yang lokal yang bisa menyelesaikan tegangan antardua budaya, tetapi berlangsung di dalamnya proyek agensi yang bertujuan untuk menciptakan keliatan subjek dalam permainan ambivalen. 

Dalam wacana hibriditas yang "tidak terpusat", "terpecah", dan "bertekstur-terbuka", berlangsung sebuah mekanisme untuk mengganggu dan meresistensi otoritas kekuasaan yang dijalankan pada seputar pengakuan terhadap perbedaan kultural. 

Apa-apa yang tampak sebagai subjek-yang-dikonstruksi-tradisional ternyata bisa menerapkan sekaligus memainkan modernitas dalam wacana maupun praktik hidup sehari-hari, tanpa kehilangan sepenuhnya ketradisian mereka. 

Sementara, ketika mereka tampak sudah menjadi manusia-manusia modern, nyatanya, subjek-yang-dikonstruksi-tradisional tidak mau mengambil, mengadaptasi, dan menerapkan sepenuhnya kebenaran ideologis pengetahuan modern yang disebarkan secara massif dalam program-program pembangunan maupun narasi-narasi dalam media populer.

Dengan menggunakan konsep "lokasi budaya" yang di dalamnya berlangsung mimikri-ejekan, hibriditas, dan ambivalensi, Bhabha, pada dasarnya, ingin mendudukkan tempat dan posisi budaya bukan dalam ketunggalan dan keterpusatan subjek. Lokasi sebuah budaya bukanlah sebuah ruang yang sudah mapan, "di sini" atau "di sana" atau "di kita" dan "di mereka", yang selamanya seperti itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun