Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keberantaraan, Ambivalensi, dan Hibriditas Budaya dalam Pandangan Bhabha

4 Februari 2022   05:00 Diperbarui: 4 Februari 2022   05:04 4342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adalah penggunaan bahasa yang membebaskannya dari fungsi "metaforisnya" dan mengubah tindak tuturnya ke dalam fenomena garis-batas: melintasi batasan dan mengubah batas, di mana satu bahasa bisa memenuhi fungsi tertentu bagi satu material dan fungsi lainnya untuk material lain. 

Agensi minoritas muncul melalui ketakutan untuk memproduksi sikap tertentu dari pilihan (terkait harus melakukan sesuatu, atau bahkan gagal untuk menangkap harapan emansipatoris), tetapi dalam keduanya, dihadapi sebagai pilihan.

Sebagai "politik-kultural", pemikiran Bhabha juga menjadi kritik terhadap kebangkitan pemikiran dan gerakan berbasis identitas esensial, baik dalam lingkup nasional sebuah negara maupun transnasional, yang digunakan untuk membuka ruang perbedaan berbasis rasial, etnis, bangsa, wilayah maupun agama demi mencapai tujuan ekonomi dan politis tertentu (1998: 59). 

Pembunuhan Muslim Bosnia di semenanjung Balkan, genosida di Rwanda, pertikaian kelompok Hindu dan Muslim di India, maupun gerakan pemertahanan ras kulit putih di Inggris maupun Amerika Serikat dengan eksploitasi terhadap subjektivitas migran-liyan, hanyalah sedikit contoh bagaimana mobilisasi identitas berbasis klaim "budaya asli" yang bercampur kepentingan politik tanpa menimbang kemungkinan terbentuknya budaya lintas-batas telah mengembalikan manusia pada sejarah panjang liyanisasi dan kolonialisasi.

Dalam konteks Indonesia, persoalan serupa juga berlangsung dalam tataran yang lebih kompleks. Sejarah panjang Orde Baru yang memosisikan budaya lokal masyarakat pedalaman di banyak daerah sebagai liyan yang harus "dididik" (dalam artian ditertibkan) telah mengakibatkan "bara dalam sekam" di negeri ini. 

Represi terhadap ekspresi budaya lokal berbasis etnis maupun ras di masa Orde Baru yang diikuti ketidakadilan ekonomi dan politik memunculkan dendam politik yang diperkuat dengan sudut pandang "kita" (masyarakat pribumi) dengan "mereka" (warga pendatang). 

Maka, ketika bergulirnya Reformasi yang oleh sebagian besar masyarakat Indonesia diyakini sebagai fase politiko-kultural untuk keluar dari kepemimpinan otoriter, oleh sebagian besar masyarakat pedalaman diyakini pula sebagai "momen pembebasan" dari 'penjajahan' Jakarta dan Jawa serta etnis lain seperti Madura. 

Peristiwa genosida etnis Madura di Sampit adalah contoh kongkrit betapa mobilisasi sentimen kultural sebagai dalih pemertahanan identitas etnis dan, tentunya, penguasaan akses politik dan ekonomi bisa menyemaikan hasrat untuk membunuh, bukannya hasrat untuk terus melampaui garis batas kultural sebagai visi baru bagi komunitas tanpa harus mengorbankan sepenuhnya budaya lokal mereka.

Sementara, bagi kelompok minoritas atau masyarakat lokal yang mampu bersiasat secara produktif terhadap narasi-narasi modernitas yang dibawa rezim negara, subjektivitas mereka memang menjadi bersifat kompleks (Setiawan, 2011, 2009). Di satu sisi, mereka mengapropriasi pesona modernitas, seperti transaksi pasar, gaya hidup, maupun pentingnya pendidikan berorientasi Barat, sebagaimana yang diwujudkan rezim negara dalam pembangunan. 

Pesona-pesona modernitas yang hadir dalam narasi media maupun proyek-proyek pembangunan menjadi begitu dominan dalam ruang hidup masyarakat, sehingga hasrat meniru begitu kuat. 

Di sisi lain, mereka tidak mau membunuh budaya lokal mereka karena keutamaan mereka untuk memperkuat solidaritas komunal di tengah-tengah perjumpaan dengan etnis-etnis mayoritas. Dalam kondisi demikian, apa-apa yang diidealisasi secara nasional tidak mampu mengubah secara menyeluruh identitas kultural di wilayah lokal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun