Lokasi budaya bukan pula berada dalam ruang yang dipenuhi keberagaman kultural yang di dalamnya berlangsung penghormatan terhadap perbedaan sebagaimana diidealisasi oleh para multikulturalis karena persoalan tersebut menyisakan pandangan esensial dan diskriminatoris terhadap liyan serta menegasikan "waktu-historis".Â
Bagi Bhabha (2003: 56; 1998: 131-132), pemikiran multikulturalis liberal seperti yang dikemukakan Charles Taylor tentang "penghormatan setara dalam keberagaman kultural" menyisakan permasalahan tersendiri. Liberalisme tidak membedakan waktu kultural-historis, semisal terkait sejarah panjang kolonialisme maupun migrasi.Â
Pada titik yang padanya wacana liberal berusaha menormalisasi perbedaan kultural, untuk mengubah pra-anggapan penghormatan kultural yang setara ke dalam pengakuan terhadap nilai kultural yang setara, wacana tersebut tidak mengakui temporalitas pada garis-batas dari budaya minoritas yang berasal dari ketidaksetaraan posisi dan relasi kuasa.Â
Pembagian kesetaraan secara murni memang disengaja, tetapi bisa berdampak serius sejauh kita memulai dari ruang yang sesuasi secara historis. Pengakuan terhadap perbedaan secara murni dirasakan, tapi dalam terma-terma yang tidak merepresentasikan genealogi historis, seringkali yang terkait pascakolonial yang membentuk budaya parsial dari minoritas.
Lokasi budaya adalah ruang antara atau ruang ketiga yang dipenuhi perjuangan representasional dan praksis untuk melakukan artikulasi-negosiasi-konstruksi secara ajeg sebagai strategi kedirian agar bisa meng-ada dan menjadi secara liat. Dalam konsepsi demikian, budaya merupakan bentuk, situs, praktik, makna, wacana, dan pengetahuan yang selalu bergerak secara dinamis sekaligus konfliktual.Â
Dampkanya, deskripsi dan teoretisasi tentang budaya tidak bisa lagi dikerangkai secara beku dan utuh dari waktu ke waktu, tidak bisa pula dimaknai sebagai asimilasi ataupun kolaborasi damai karena selalu muncul praktik dinamis, bahkan konfliktual.
Lebih tepatnya, budaya sebagai budaya parsial yang menyerupai "budaya di-antara", sama-sama tidak jelas antara yang menyerupai dan berbeda dari budaya lain-dominan sebagai akibat dari strategi hibridisasi (Bhabha, 2003: 58). Strategi ini mengganggu ataupun meniadakan kekuatan otoritatif dalam mengkonstruksi secara diskursif pemahaman budaya dalam sebuah masyarakat, khususnya, sekali lagi, yang bersifat biner antara yang dominan dan yang subordinat atau minoritas.Â
Ketika sebuah penulisan atau usaha diskursif bertujuan mengobyektifkan atau mewajarkan pengetahuan atau identitas kultural dalam lingkup nasional, strategi atau wacana hibridisasi yang membuka ruang negosiasi memang tidak bisa menghancurkan ketidaksetaraan-kuasa, tetapi ia mengaburkan atau mengalihkan kedalaman dari kekuasaan yang dibenarkan melalui konstruksi identitas antagonis.Â
Agensi hibrid menemukan suaranya dalan dialektika di garis-batas, tanpa mencari supremasi ataupun kedaulatan kultural. Dengan siasat diskursif tersebut, mereka membentuk budaya parsial sebagai titik-pijak untuk mengkonstruksi visi komunitas di tengah-tengah kelompok atau wacana mayoritas; yang sebagian dalam yang keseluruhan.
KONTEKSTUALISASI PEMIKIRAN BHABHAÂ
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa Bhabha mengkonseptualisasikan budaya dalam dalam perlintasan?Â