Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keberantaraan, Ambivalensi, dan Hibriditas Budaya dalam Pandangan Bhabha

4 Februari 2022   05:00 Diperbarui: 4 Februari 2022   05:04 4342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana saya singgung pada awal pembahasan, ia membangun teorinya dengan kesadaran historis kolonial dan pascakolonial. Khususnya dalam ruang transnasional, ketika kelompok diaspora berada di tengah-tengah kemapanan budaya nasional negara maju, Inggris dan Amerika Serikat, misalnya, menegaskan subjektivitas biner, berarti membenarkan cara pandang metropolitan terhadap ke-liyan-an oriental yang menjadi pembenaran bagi kolonialisme. 

Maka, meniru sebagian budaya induk yang sudah mapan menjadikan mereka survive dalam ranah publik, meskipun hal itu tidak menghilangkan sepenuhnya prasangka terhadap keminoritasan mereka. Namun, karena peniruan yang menghasilkan budaya hibrid atau parsial itu berada di garis-batas, sebagian "tradisi ibu" mereka masih terjaga. 

Itulah bentuk resistensi yang dikonseptualisasikan Bhabha; resistensi yang dikonstruksi secara diskursif dalam praktik tulisan maupun kehidupan sehari-hari yang tidak sepenuhnya menerima kebebasan mutlak maupun sekulerisasi sebagai karakteristik budaya dominan-metropolitan. 

Itulah mengapa karya-karya representasional, seperti karya sastra dan film, tentang subjek diaspora Asia maupun Afrika di Eropa maupun Amerika Serikat selalu menyisakan "ruang transisi di garis-batas" yang dengannya subjek pascakolonial-diasporik mampu survive dengan cara memasukkan sebagian pengetahuan modern di negara-negara induk ke tengah-tengah budaya ibu. 

Sementara, kehadiran mereka juga memberikan warna baru bagi wilayah metropolitan karena negosiasi sebagian budaya ibu dalam praktik representasional dan diskursif yang dilakukan para penulis sebagai salah satu bentuk minoritas-sebagai-agen mampu masuk ke dalam pengetahuan kultural metropolitan sehingga stereotipisasi terhadap liyan Asia maupun Afrika ataupun perbedaan biner ikut terganggu. 

Salman Rushdie, terkait novelnya yang cukup kontroversial mengatakan: 

The Satanic Verses merayakan hibriditas, ketidakmurnian, kebercampuran, transformasi-transformasi yang memunculkan kombinasi-kombinasi baru dan tak terkira dari manusia, budaya, ide, politik, film, dan lagu….Percampuran, kumpulan campur-aduk, sedikit dari sini sedikit dari sana merupakan cara bagaimana kebaruan memasuki dunia. 

Adalah sebuah kemungkinan besar bahwa migrasi massal memberi pada dunia, dan saya mencoba untuk mencakupnya. The Satanic Verses dtujukan untuk perubahan-melalui-fusi, perubahan-melalui-penggabungan. Ia adalah senandung-cinta untuk diri-diri yang terpinggirkan.” (dikutip dalam Mishra, 2007: 224)

"Wacana minoritas" sebagai produk dari "minoritas produktif" di tengah-tengah budaya metropolitan memang tampak tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti prosedur kekuasaan hegemonik (menjadi bagian dari aliansi dalam masyarakat di negara induk, termasuk menggunakan bahasa Inggris), tetapi mampu mengubah garis-batas atau batasan kultural biner yang menjadikan mereka kosmopolitan tetapi tidak sepenuhnya yang sekaligus meresistensi dan membalik kekuasaan tersebut. 

Menurut Bhabha (1998: 126-127), kondisi "wacana minoritas" dalam karya-karya representasional maupun kehidupan sehari-hari yang ditandai deteritorialisasi, kedekatan politis, dan nilai kolektif memang tidak bisa menjawab permasalahan agensi dalam artian aksi nyata. 

Deskripsi agensi dalam tulisan minoritas adalah melampaui "kategori tradisional dari dua subjek". Mereka dapat secara senyap menemani prosedur-prosedur hegemoni sebagai tindakan "yang tidak berbicara" dari kekuasaan; tetapi ketikakmenentuan rujukan atau "ketidakterlihatan" juga bisa menjadikan mereka sebagai ritual yang "tidak terbicarakan" dari resistensi dan pembalikan. 

Minoritas produktif yang bergerak melampaui "kategori dua subjek" mengartikulasikan kemunculan minoritas sebagai bentuk identifikasi melalui proses afektif dari "ketakutan". 

Dalam kondisi ketakutan di tengah-tengah mayoritas dominan, bagian terdalam dari wacana minoritas menyentuh titik keterbelakangan atau ketertinggalannya dari budaya dominan dan kemudian mengaktifkan deteritorialisasi bahasa (bahasa Inggris, misalnya) dilepaskan dari fungsi metaforis sebagai bentuk kekuasaan subjek metropilitan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun