Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Bahasa Anak Jaksel: Campur-Kode, Konteks, dan Dinamika

14 Januari 2022   07:06 Diperbarui: 14 Januari 2022   13:09 1854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kaum muda Jaksel sedang nongkrong. Dok. SQ Dome via Kompas.com

DINAMISNYA PROSES BERBAHASA

Bagi orang-orang yang memahami hubungan dinamis antara bahasa dan kebudayaan, realitas bahasa anak-anak Jaksel yang bercirikan percampuran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tentu bukan sesuatu yang mengherankan. Bukan pula sesuatu yang harus dicaci-maki karena mengurangi nasionalisme dan aspek-aspek kebangsaan lainnya.

Mengapa saya katakan bukan hal yang mengherankan? Ya, karena berbahasa itu proses dinamis, tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sosial, ekonomi, dan politik dalam sebuah masyarakat atau bangsa.

Dulu kita tidak bisa berbicara bahasa Belanda, Inggris, ataupun Jepang. Proses kolonialisme yang berlangsung sejak era VOC hingga Jepang menjadikan para elit bangsa ini yang diuntungkan karena strata sosial mereka yang tinggi bisa mengenyam pendidikan dari para bangsa penjajah, termasuk mampu menggunakan bahasa asing.

Para founding fathers dan mothers Republik ini pun memiliki kemampuan yang cukup dalam menggunakan bahasa asing, sehingga mereka menjadi juru runding yang mahir dan handal ketika menghadapi pemerintah Belanda.

Selepas penjajahan, dibukanya banyak jurusan bahasa asing di perguruan tinggi, akademi, politeknik, ataupun tempat kursus, menjadikan semakin banyak generasi muda dan anak-anak yang "cas-cis-cus" dalam menggunakan bahasa Inggris.

Bahkan, tidak jarang pula para elit pemerintahan menggunakan bahasa Indonesia dengan menyisipkan istilah-istilah dalam bahasa Inggris, meskipun yang dihadapi adalah warga negara Indonesia.

Apa yang mesti dipahami adalah bahwa penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing yang lain selalu memiliki konteks dan kepentingan yang harus dibaca untuk melengkapi pembacaan terhadap realitas tersebut. Artinya, untuk mengurai makna dari sebuah peristiwa  bahasa, sesederhana apapun, kita bisa mengurai makna dan kompleksitas konteks sosio-kultural, ekonomi, maupun politik yang menyertainya. 

Dari situlah kita bisa mengetahui ada apa sebenarnya atau kepentingan apa sebenarnya yang tengah dikonstruksi dan dinegosiasikan oleh individu atau komunitas yang menggunakan sebuah bahasa. Melalui praktik bahasa mereka menyampaikan kepada dunia terkait kedirian dan pikiran.

Itulah mengapa, sub-disiplin antropologi linguistik (linguistic anthropology) menempatkan peristiwa bahasa sebagai pintu masuk untuk menungkap persoalan budaya yang lebih luas (termasuk di dalamnya aspek nilai, ragam kepentingan, dan relasi kuasa). 

Para antropolog linguistik meyakini bahwa sekecil apapun sebuah peristiwa bahasa dalam masyarakat yang bergerak dinamis, bisa ditemukan dunia yang kompleks di mana masing-masing individu terikat oleh sistem kebahasaan dan praktik budaya yang menjadikan mereka subjek yang masuk di dalamnya.

Maka, bagi saya, membaca bahasa anak Jaksel yang menjadi perbincangan selama beberapa tahun terakhir, kita bisa membawa paradigma bahasa dan budaya sebagaimana dipahami antropologi linguistik. 

Maksudnya, kita bisa melihat bagaimana praktik berbahasa dan bentuk kebahasaan yang berlangsung sampai-sampai banyak pihak yang mengkritisinya dan menuduhnya sebagai praktik berbahasa yang jelek. 

Pemahaman tersebut diperlukan agar kita tahu bagaimana struktur bahasa yang mereka gunakan dan dalam konteks seperti apa penggunaannya.

BAHASA ANAK JAKSEL: CAMPUR-KODE

Saya sengaja mencari informasi dari media online terkait bentuk bahasa gaul anak-anak Jaksel. Ini penting dilakukan agar tidak terjebak dalam generalisasi ataupun tuduhan membabi-buta tanpa melihat terlebih dahulu bagaimana bentuk bahasa yang mulai nge-trend sekira tahun 2018 tersebut.

"Gue literally asli anak Jaksel  ya walaupun rada pinggir ke Depok gitu lah. Cuman gue kadang bingung sama jokes-nya anak Jaksel which is bahasanya mixed Indo and English gitu."

"Normally pas pulang kuliah gue sih sukanya hang out sama temen kampus. Kadang juga ngerjain tugas kuliah di coffee shop yang ada working space nya gitu di daerah Senoparty."

Dari dua contoh ungkapan di atas, bisa dikatakan, bentuk bahasa gaul anak Jaksel adalah campur-kode (code mixing), yakni percampuan dua bahasa dalam sebuah ekpresi kebahasaan, seperti percakapan yang terjadi antarpenutur. 

Dalam bahasa anak-anak Jaksel percampuran yang terjadi adalah antara bahasa Indonesia dan Inggris. Jadi, anak-anak muda menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam sebuah tuturan. Percampuran tersebut berlangsung dalam satu tuturan. 

Dok. www.thestar.com.my
Dok. www.thestar.com.my
Jadi, praktik tersebut bukan disebut sebagai bilingualisme. Mengapa? Karena bilingual menegaskan kemampuan individu atau komunitas untuk menggunakan dua bahasa. 

Sementara, multilingual, digunakan untuk mendeskripsikan kemampuan lebih dari dua bahasa. Nah, praktik campur-kode tersebut berlangsung dalam komunitas bilingual ataupun multilingual. 

Selain itu juga terdapat praktik alih-kode (code switching), bentuk pergantian atau perpindahan dari satu bahasa ke bahasa lain dalam sebuah peristiwa. 

Alih-kode ditandai selesainya sebuah ungkapan dengan bahasa tertentu yang kemudian beralih ke ungkapan dengan bahasa lain. 

Seseorang menggunakan bahasa Indonesia dalam beberapa percakapan dengan sesama warga Indonesia, kemudian dia beralih menggunakan bahasa Inggris untuk ungkapan lain merupakan bentuk alih-kode.

MEMAHAMI KONTEKS DINAMIS, MENGHINDARI STIGMATISASI

Beberapa tafsir telah diberikan terkait kebiasaan campur-kode dalam bahasa anak-anak Jaksel. Konteks kawasan elit di Jakarta Selatan di mana terdapat banyak ekspatriat, oleh Sikumbang diasumsikan ikut membentuk gaya berkomunikasi anak-anak muda.

Dalam perspektif antropologi linguistik, campur-kode anak-anak Jaksel merupakan prakitk kebahasaan yang merespons situasi ekonomi, sosial, dan budaya dalam wilayah geografis yang berbeda dari wilayah lain. Dari situlah akan muncul dinamika berbahasa yang menggambarkan relasinya dengan konteks tertentu.

Diakui atau tidak, suka atau tidak suka, bahasa Inggris telah, sedang, dan akan menjadi bahasa hegemonik di mana banyak masyarakat negara-negara berkembang (mayoritas negara pascakolonial) memosisikannya sebagai alat atau modal untuk mendapatkan kemajuan hidup, kesejahteraan, pengetahuan, dan berpartisipasi dalam globalisasi dalam segala bidang. 

Tidak mengherankan kalau bahasa Inggris dijadikan bahasa kedua ataupun bahasa asing yang diajarkan kepada generasi penerus karena pemerintah di negara-negara pascakolonial menginginkan kemajuan hidup dengan kemampuan bahasa Inggris yang digunakan dalam bermacam urusan internasional dan global.

Anak-anak muda yang mendapatkan pelajaran bahasa Inggris dari institusi pendidikan, formal maupun informal, tumbuh dengan tradisi linguistik yang menempatkan bahasa Inggris sebagai "bahasa planet bumi" yang paling berpengaruh. 

Tentu bukan hal yang sulit bagi mereka untuk menggunakan istilah-istilah umum dalam bahasa Inggris yang mudah dicampur dengan ekspresi bahasa Indonesia. 

Kawasan Jaksel. Dok. Kompas.com
Kawasan Jaksel. Dok. Kompas.com

Kawasan elit metropolitan dengan segenap fasilitas kemewahan dan ornamen-ornamen globalnya, dari pusat perbelanjaan, resto mewah, hingga tempat nongkrong para ekspatriat, menjadi "medan kultural" yang memungkinkan tumbuhnya keinginan berbahasa kaum muda di Jaksel yang menunjukkan keberbedaan dengan anak-anak muda di kawasan lain.

Maka, dengan menggunakan campuran bahasa Inggris dan bahasa Indonesia ketika sedang nongkrong di kafe ataupun chatting via aplikasi di android, bisa jadi anak-anak muda Jaksel menemukan kelenturan, kebanggaan sosial sekaligus keberbedaan linguistik dengan anak anak muda di kawasan lain yang berkorelasi dengan praktik budaya dan ekonomi kawasan elit metropolitan. 

Ekspresi kebahasan mereka, dengan demikian, mengungkapkan pandangan dunia (vision du monde) yang menempatkan partikularitas ekspresi bahasa sebagai kekuatan kultural yang memberikan makna dan derajat sosial tertentu. Ini bukan hal yang aneh dalam kehidupan yang menempatkan bahasa asing sebagai orientasi ideal. 

Kaum muda Jaksel menangkap makna dan kepentingan di balik penggunaan bahasa Inggris sebagai kesempatan untuk mengkonstruksi "identitas kebahasaan" yang mampu menghadirkan ciri pembeda dibandingkan dengan komunitas anak muda lain di kawasan metropolitan Jakarta. 

Negosiasi makna keIndonesiaan dan ke-global-an melalui bahasa gaul bisa dibaca sebagai bentuk "kreativitas kebahasaan" dalam komunikasi di dalam komunitas tutur. 

Anak-anak Jaksel menemukan formula dan bentuk campur-kode Indonesia-Inggris sebagai penanda identitas sosial dan kultural komunitas tutur mereka yang berlangsung lebih gaul.

Lebih jauh lagi, mereka ingin menunjukkan bahwa mereka tetap "menjadi Indonesia" tetapi tidak sepenuhnya Indonesia karena ada budaya ideal dalam bentuk kebahasaan lain yang bisa menjadi kekuatan atau modal strategis buat mereka. 

Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nasional menjadi sistem yang harus tetap dijalani, meskipun dengan membiarkan subversi bahasa Inggris yang di masa kolonial menjadi bahasa penjajah.

Hibriditas dalam berbahasa tersebut tidak harus dimaknai secara negatif melulu. Tidak usah pula dituduh sebagai biang kerok hancurnya bahasa Indonesia. Apalagi, sampai memaki anak-anak Jaksel tidak cinta Indonesia, sok gaya, dan tuduhan-tuduhan lainnya. 

Bagi saya, bahasa gaul anak Jaksel merupakan proses berbahasa dan berkomunikasi yang wajar dan dinamis. Di banyak komunitas tutur bilingual ataupun multilingual itu biasa terjadi. 

Bahasa anak Jaksel merupakan cara mereka memosisikan diri mereka di tengah pengaruh-pengaruh budaya dalam kehidupan mereka sehari-hari. 

Narasi tentang kebangsaan dan keindonesiaan yang mereka dengar melalui bangku pendidikan, televisi, ataupun ucapan pemerintah dan elit politik menjadi wacana umum yang ikut membentuk pandangan dunia mereka sebagai warga negara. 

Mau tidak mau, suka tidak suka, mereka adalah subjek dari sebuah bangsa dengan beragam kepentingan nasional yang salah satunya diwujudkan dalam bahasa nasional. 

Di ruang-ruang pendidikan, mereka harus menggunakan bahasa Indonesia yang pada akhirnya menjadi kebiasaan linguistik sehari-hari. 

Namun, mereka juga tidak mungkin menolak budaya global dengan semua gaya hidupnya yang cukup progresif dan dinamis. Apalagi mereka tinggal di kawasan elit yang banyak terdapat ekspatriat. 

Dunia internet juga semakin membiasakan mereka dengan penggunaan bahasa Inggris. Mereka sangat menyadari bahwa untuk bisa mengakses dinamika budaya global, bahasa Inggris menjadi syarat mutlak. Bahasa Inggris merupakan warisan proses kolonial yang menempatkan "yang Barat" sebagai sesuatu "yang ideal". 

Apakah praktik berbahasa mereka akan menggerus kemampuan bahasa Indonesia? Mungkin iya, tetapi itu semua perlu dibuktikan melalui riset. Apa yang harus diingat adalah proses berbahasa, sekali lagi, merupakan sesuatu yang dinamis. 

Kita tidak bisa melarang anak-anak muda untuk menggunakan bahasa asing dalam bentuk campur-kode. Dalam praktik itu mereka menemukan diri dalam ikatan komunal-kreatif dalam menyampaikan pandangan dunia tentang kompleksitas kultural yang terus bergerak secara dinamis. 

Selain itu, kalau memang kemudian dalam praktik pendidikan para pendidik menemukan masalah dalam mengajarkan bahasa Indonesia karena praktik bahasa anak Jaksel, kebijakan dan tindakan strategis tentu perlu dilakukan. 

Tentu saja, dengan meminta pendapat para pakar bahasa, sehingga apapun kebijakan dan tindakannya tidak harus menyalahkan atau menstigmatisasi kaum muda Jaksel.

Apakah penggunaan bahasa Inggris 'sepenggal-sepenggal' dalam berbahasa Indonesia mengindikasikan ketidakampuan bahasa Inggris mereka? Kita juga membutuhkan instrumen tes untuk membuktikannya agar tidak terjebak pada stigmatisasi. 

Yang pasti anak-anak muda saat ini memang lebih "cas-cis-cus" dalam berbahasa Inggris. Apalagi mereka yang berpendidikan luar negeri. Meskipun demikian, untuk kemampuan bahasa Inggris secara akademis membutuhkan instrumen tes tersendiri.

Apakah campur-kode bahasa anak Jaksel menunjukkan kesombongan dalam pergaulan melalui bahasa? Tidak usah kita menuduh demikian, karena masing-masing generasi memiliki keunikan dalam memahami pengaruh bahasa dan budaya luar dalam kehidupan nasional dan komunal mereka. 

Para pengguna campur-kode itu menemukan keasyikan untuk mengidentifikasi kedirian, orientasi, dan keinginan mereka dalam kehidupan yang dinamis. 

Bukankah banyak elit politik dan pejabat pemerintahan yang juga melakukan praktik yang sama, campur-koden bahasa Indonesia dan bahasa Inggris? Itulah realitas kebahasaan yang terjadi saat ini. Jadi, kurang bijak kalau kemudian kita menuduh anak-anak muda Jaksel tengah berusaha merusak bahasa Indonesia.

Pemerintah sejak awal kemerdekaan hingga saat ini telah menjadikan bahasa Inggris sebagai materi pelajaran di sekolah bahkan program studi/jurusan di perguruan tinggi. 

Tempat-tempat kursus dibuka untuk memudahkan anak-anak generasi muda berbahasa Inggris. 

Perusahaan nasional dan multinasional mensyaratkan kemampuan bahasa Inggris sebagai syarat rekrutmen calon pekerja mereka. 

Pun demikian, pemerintah juga mensyaratkan bahasa Inggris sebagai salah satu komponen tesnya.

Dalam jagat media dan hiburan, saluran televisi internasional, film internasional, dan saluran media baru dipenuhi narasi dalam bahasa Inggris. Pembiasaan terhadap bahasa Inggris berlangsung di mana-mana, khususnya bagi mereka yang memiliki kesempatan berpendidikan. 

Di sisi ekonomi, kawasan Jakarta Selatan memang berkembang pesat sebagai 'penanda global' dan 'kebanggaan sosial'. Menjadi wajar kalau anak-anak mudanya ingin mengindentifikasi diri mereka dalam keberbedaan bahasa. 

Di tengah-tengah konteks itulah bahasa anak Jaksel lahir dan berkembang hingga saat ini. Apakah praktik bahasa tersebut akan tetap bertahan, atau bisa menjadi alih-kode, atau, bahkan, menjadikan kaum muda Jaksel lebih memilih berkomunikasi dengan full-English? 

Kita masih akan melihat apa yang akan terjadi. Yang pasti kita tidak perlu menuduh atau menstigmatisasi mereka. Mengkritisi perlu, tapi sebaiknya tetap menggunakan ukuran-ukuran kebahasaan yang dinamis-kontekstual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun