Kawasan elit metropolitan dengan segenap fasilitas kemewahan dan ornamen-ornamen globalnya, dari pusat perbelanjaan, resto mewah, hingga tempat nongkrong para ekspatriat, menjadi "medan kultural" yang memungkinkan tumbuhnya keinginan berbahasa kaum muda di Jaksel yang menunjukkan keberbedaan dengan anak-anak muda di kawasan lain.
Maka, dengan menggunakan campuran bahasa Inggris dan bahasa Indonesia ketika sedang nongkrong di kafe ataupun chatting via aplikasi di android, bisa jadi anak-anak muda Jaksel menemukan kelenturan, kebanggaan sosial sekaligus keberbedaan linguistik dengan anak anak muda di kawasan lain yang berkorelasi dengan praktik budaya dan ekonomi kawasan elit metropolitan.Â
Ekspresi kebahasan mereka, dengan demikian, mengungkapkan pandangan dunia (vision du monde) yang menempatkan partikularitas ekspresi bahasa sebagai kekuatan kultural yang memberikan makna dan derajat sosial tertentu. Ini bukan hal yang aneh dalam kehidupan yang menempatkan bahasa asing sebagai orientasi ideal.Â
Kaum muda Jaksel menangkap makna dan kepentingan di balik penggunaan bahasa Inggris sebagai kesempatan untuk mengkonstruksi "identitas kebahasaan" yang mampu menghadirkan ciri pembeda dibandingkan dengan komunitas anak muda lain di kawasan metropolitan Jakarta.Â
Negosiasi makna keIndonesiaan dan ke-global-an melalui bahasa gaul bisa dibaca sebagai bentuk "kreativitas kebahasaan" dalam komunikasi di dalam komunitas tutur.Â
Anak-anak Jaksel menemukan formula dan bentuk campur-kode Indonesia-Inggris sebagai penanda identitas sosial dan kultural komunitas tutur mereka yang berlangsung lebih gaul.
Lebih jauh lagi, mereka ingin menunjukkan bahwa mereka tetap "menjadi Indonesia" tetapi tidak sepenuhnya Indonesia karena ada budaya ideal dalam bentuk kebahasaan lain yang bisa menjadi kekuatan atau modal strategis buat mereka.Â
Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nasional menjadi sistem yang harus tetap dijalani, meskipun dengan membiarkan subversi bahasa Inggris yang di masa kolonial menjadi bahasa penjajah.
Hibriditas dalam berbahasa tersebut tidak harus dimaknai secara negatif melulu. Tidak usah pula dituduh sebagai biang kerok hancurnya bahasa Indonesia. Apalagi, sampai memaki anak-anak Jaksel tidak cinta Indonesia, sok gaya, dan tuduhan-tuduhan lainnya.Â
Bagi saya, bahasa gaul anak Jaksel merupakan proses berbahasa dan berkomunikasi yang wajar dan dinamis. Di banyak komunitas tutur bilingual ataupun multilingual itu biasa terjadi.Â