Yang pasti anak-anak muda saat ini memang lebih "cas-cis-cus" dalam berbahasa Inggris. Apalagi mereka yang berpendidikan luar negeri. Meskipun demikian, untuk kemampuan bahasa Inggris secara akademis membutuhkan instrumen tes tersendiri.
Apakah campur-kode bahasa anak Jaksel menunjukkan kesombongan dalam pergaulan melalui bahasa? Tidak usah kita menuduh demikian, karena masing-masing generasi memiliki keunikan dalam memahami pengaruh bahasa dan budaya luar dalam kehidupan nasional dan komunal mereka.Â
Para pengguna campur-kode itu menemukan keasyikan untuk mengidentifikasi kedirian, orientasi, dan keinginan mereka dalam kehidupan yang dinamis.Â
Bukankah banyak elit politik dan pejabat pemerintahan yang juga melakukan praktik yang sama, campur-koden bahasa Indonesia dan bahasa Inggris? Itulah realitas kebahasaan yang terjadi saat ini. Jadi, kurang bijak kalau kemudian kita menuduh anak-anak muda Jaksel tengah berusaha merusak bahasa Indonesia.
Pemerintah sejak awal kemerdekaan hingga saat ini telah menjadikan bahasa Inggris sebagai materi pelajaran di sekolah bahkan program studi/jurusan di perguruan tinggi.Â
Tempat-tempat kursus dibuka untuk memudahkan anak-anak generasi muda berbahasa Inggris.Â
Perusahaan nasional dan multinasional mensyaratkan kemampuan bahasa Inggris sebagai syarat rekrutmen calon pekerja mereka.Â
Pun demikian, pemerintah juga mensyaratkan bahasa Inggris sebagai salah satu komponen tesnya.
Dalam jagat media dan hiburan, saluran televisi internasional, film internasional, dan saluran media baru dipenuhi narasi dalam bahasa Inggris. Pembiasaan terhadap bahasa Inggris berlangsung di mana-mana, khususnya bagi mereka yang memiliki kesempatan berpendidikan.Â
Di sisi ekonomi, kawasan Jakarta Selatan memang berkembang pesat sebagai 'penanda global' dan 'kebanggaan sosial'. Menjadi wajar kalau anak-anak mudanya ingin mengindentifikasi diri mereka dalam keberbedaan bahasa.Â
Di tengah-tengah konteks itulah bahasa anak Jaksel lahir dan berkembang hingga saat ini. Apakah praktik bahasa tersebut akan tetap bertahan, atau bisa menjadi alih-kode, atau, bahkan, menjadikan kaum muda Jaksel lebih memilih berkomunikasi dengan full-English?Â