Anak-anak sudah mulai asyik dengan play station dan game internet. Remaja sekolahan lebih menikmati MTV maupun asyik dengan dunia android yang menawarkan bermacam media sosial, aplikasi, dan game. Artinya, desa bukan lagi menjadi ruang eksotis bersifat rural dan natural yang jauh dari jangkauan lalu-lintas peradaban dan kebudayaan modern.Â
Meskipun masih mempraktikkan tradisi-tradisi lokal warisan leluhur atau tradisi beraroma Islam, seperti selamatan dan tahlilan, toh wong ndeso dalam praktik sehari-hari sedang menikmati keterpesonaan terhadap "imaji indah modernitas" sebagaimana yang berlangsung pada ruang kultural kota.Â
Kondisi-kondisi itulah yang menjadikan para dalang muda, seperti Ki Siswo Utomo, memutar otak untuk kemudian memilih 'pakem tambahan' seperti pertunjukan lagu-lagu dangdut (bergaya koplo), campursari, kendang kempul Banyuwangian, maupun lagu-lagu pop yang di-koplo-kan.Â
IMPROVISASI ESTETIKA-HIBRID DALAM PERTUNJUKAN WAYANGÂ
Transformasi dan improvisasi estetik-hibrid pada pagelaran wayang menjadi strategi survival untuk bisa terus berkontestasi di ruang kultural desa yang sangat ambivalen. Memang, motivasi ekonomi merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditawar lagi, karena para dalang, sinden, maupun pengrawit butuh uang untuk tambah kebutuhan sehari-hari.Â
Dalam konteks impovisasi estetik-hibrid itulah, terjadi ambivalensi pemberdayaan kesenian lokal yang di satu sisi berusaha  melakukan penguatan, tetapi, di sisi lain, harus memasukkan elemen kesenian modern yang kontras atau bahkan bisa mengurangi aura dari kesenian tersebut.Â
Ambivalensi tersebut menghasilkan tontonan yang secara sekilas tidak lagi memegang pakem pertunjukan wayang seperti dilakukan pada masa lampau. Meskipun demikian, tidak sepenuhnya pakem hilang karena siasat estetik sebisa mungkin disesuaikan dengan bagian pertunjukan wayang.Â
Ambivalensi yang dihasilkan dari improvisasi estetik-hibrid, dengan demikian, tetap menghasilkan nilai strategis bagi dalang dan pertunjukan. Tampilan tambahan yang paling kentara dalam pertunjukan wayang saat ini adalah pertunjukan musik campursari, kendang kempul, dangdut, maupun pop-industrial yang sedang nge-trend di masyarakat desa.Â
Hal itu masuk akal karena di wilayah perdesaan Jember (bagian Selatan) musik yang sedang nge-trend adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Dangdut, campursari dan kendang kempul, tidak hanya disukai oleh warga berusia tiga puluh tahun ke atas, tetapi juga yang berusia dua puluh tahunan.Â
Sementara, musik pop-industrial memang lebih disukai oleh mereka yang berusia belasan tahun hingga dua puluh tahunan, meskipun generasi tiga puluh tahunan juga masih ada yang menggemari. Adapun penonton yang berusia lima puluh tahun ke atas lebih menyukasi gending klasik Mataraman yang kalem.Â
Tambahan pagelaran musik tersebut biasanya berlangsung sebelum jejer pembukaan, cangik limbuk di tengah-tengah alur pertunjukan, dan goro-goro di bagian akhir sebelum pertunjukan berakhir. Pertunjukan musik biasanya dimulai antara pukul 20.00 hingga 21.00 WIB. Sebelum pertunjukan dimulai para sinden yang berpakian kebaya lengkap, dengan rambut disanggul bersiap di atas panggung.Â