Rezim Sukarno terkenal dengan kebijakan politik budaya yang mengedepankan produk budaya sendiri, tanpa banyak mengambil yang berasal dari luar. Kebijakan ini memberikan keuntungan, baik secara kultural maupun finansial, bagi para seniman rakyat yang memperoleh perhatian lebih secara politis dari pemerintah maupun partai politik yang tumbuh subur pada masa itu.
Apa yang tidak menguntungkan bagi seniman rakyat pada masa ini adalah terlalu suburnya kepentingan ideologis partai politik yang pada akhirnya menghadirkan tragedi bagi keberlangsungan hidup kesenian dan seniman rakyat. Sebagian besar seniman rakyat, pada masa Sukarno berafiliasi ke dalam LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dekat dengan PKI. Perubahan politik akibat G 30 S 1965, menjadikan mereka korban dari rekayasa politik nasional.
Bung Karno yang terkenal sebagai orator nomor wahid seringkali menggunakan cerita-cerita pewayangan untuk ‘menghipnotis’ rakyat yang banyak mengalami kesulitan hidup sehingga selalu mempunyai semangat patriotik dan nasionalis dalam menghadapi kekuatan-kekuatan asing yang dianggap sebagai nekolim (neokolonialisme). Namun, keberhasilan Bung Karno untuk menggunakan cerita wayang, sebagaimana dilakukan Tjipto, ternyata tidak seperti yang dirasakan oleh PKI.
LEKRA kesulitan untuk menggunakan wayang sebagai alat propaganda, tidak seperti ludruk maupun kethoprak. Hal itu dimungkinkan karena adanya struktur hirarkis tentang dunia di dalam lakon wayang, sehingga tidak seperti yang diharapkan PKI yang lebih mengusahakan ideologi “sama rata, sama rasa”.
Pada masa Orba, wayang seperti menjadi the silent drama di mana para dalang tidak berani atau tidak memberanikan diri untuk melakukan kritik-kritik politik, ketika pertunjukan lain, seperti teater modern, berani menggelar karya-karya yang beraroma subversif untuk mengganggu kepentingan rezim.
Kondisi itu bisa dimaklumi karena pada tragedi 65, para seniman rakyatl menjadi korban kekejaman politik. Tindakan represif yang dilakukan oleh penguasa Orba terhadap tindakan subversif, baik dalam dunia politik maupun kesenian, menjadi faktor eksternal yang menjadikan mereka takut.
Wayang cenderung aman dari tindakan represif rezim karena cerita wayang itu sendiri, jarang sekali menampilkan potensi resisten karena sudah dibingkai dalam keteraturan moralitas dan hirarki yang sulit untuk diganggu oleh kawula biasa. Bahkan dalam salah satu lakon yang terkesan subversif, Petruk Dadi Ratu, akhir cerita tetap mengembalikan Petruk, ke dalam peran Punakwan setelah menyadari kesalahannya yang melawan kodrat sebagai abdi Pandawa.
Alih-alih memberdayakan wayang sebagai bagian dari kebijakan pembangunan nasional dalam segala bidang, rezim Orba tidak begitu banyak menunjukkan keberpihakan terhadap perkembangan wayang kulit. Meskipun demikian, rezim menggunakan kuasanya untuk menciptakan "wayang suluh" dan "wayang pancasila" untuk mendukung pelaksanaan program pemerintah yang didukung oleh ketertiban dan keamanan di level masyarakat.
Pemerintah juga menggunakan wayang sebagai medium untuk mensosialisasikan program pemerintah seperti Keluarga Berencana, Penataran P-4, dan lain-lain. Partai berkuasa, Golkar, dalam kampanye menjelang pemilu juga menggunakan pertunjukan wayang untuk menyampaikan propagandanya, bukan melalui penciptaan lakon sendiri, tetapi melalui sisipan-sisipan dalam dialog yang dilakukan dalang.
MEREKAYASA PAKEM
Wayang memang selalu menyediakan ruang bagi kepentingan yang mengelilinginya, meskipun para dalang atau seniman lain yang terlibat di dalamnya, seperti asisten dalang, pengrawit, maupun sinden juga mempunyai kepentingan lain yang mereka negosiasikan melalui pertunjukan wayang.