Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nonton Wayang atau Dangdut? Perubahan Budaya dan Siasat Pertunjukan

15 Januari 2022   05:00 Diperbarui: 22 Januari 2022   05:43 2159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang sinden menyanyikan lagu campursari sebagai pembuka pertunjukan wayang di Desa Gadingrejo, Kec. Umbulsari, Jember. Dok. Pribadi

Pertunjukan sebagai sebuah struktur teks yang dinamis, tentu saja, akan selalu memunculkan kontradiksi-kontradiksi pemaknaan, baik dari seniman maupun penikmatnya. Struktur dan makna tidak bisa menjadi sesuatu yang utuh dan berkesinambungan. Begitupula kenikmatan-kenikmatan yang dihasilkan dari proses pemaknaan. 

Artinya, akan selalu muncul negosiasi-negosiasi yang terus berkembang dalam sebuah pertunjukan, sehingga hegemoni estetik akan mendapatkan 'gangguan-gangguan baru' yang berasal dari dalam. Hal serupa juga terjadi dalam pertunjukan musik yang melengkapi pagelaran wayang kulit. Pemaknaan kembali struktur dan model pertunjukan musik yang menyuguhkan goyang aduhai para penyanyi dangdut dengan pakaian minimnya oleh komunitas penikmat, ternyata memperoleh respons dari dalang. 

Sedahsyat apapun pergeseran selera estetik masyarakat Jawa di Jember sebagai akibat kultural yang sedang berlangsung, banyak penikmat wayang, utamanya yang berasal dari warga berusia lima puluh tahunan, empat puluh tahunan, dan sebagian kecil tiga puluh tahunan, masih memosisikan wayang sebagai "benar-benar" identitas kultural Jawa. 

Akibatnya, mereka merasa kurang respek terhadap kehadiran penyanyi-penyanyi dangdut koplo yang bergaya seksi di atas panggung wayang. Saat ini, sebagian penanggap wayang di wilayah Semboro, juga sudah mulai meminta dalang untuk menampilkan "murni Jawa + musik". 

Artinya, tidak boleh ada penyanyi dangdut yang berada di atas pentas karena dianggap kurang sesuai dengan adat Jawa, sehingga yang memberikan hiburan musik cukup suara merdu para pesinden. Bahkan, di beberapa desa di wilayah Kecamatan Umbulsari, seperti Gading Rejo, tuan rumah tidak segan-segan meminta dalang untuk tidak terlalu lama mementaskan hiburan musik campursari karena bisa menghilangkan ceritanya. 

Siswo Utomo, yang semula meyakini resep hibrid dengan menghadirkan penyanyi dangdut koplo sebagai bentuk negosiasi wayang dalam konteks masyarakat terkini, mulai berpikir ulang akan ‗kebenaran‘ konsep tersebut. Pendapat para penikmat setia yang diperolehnya dari ngobrol di warung kopi, menjadikannya berpikir untuk menawarkan kepada penanggap untuk meniadakan penyanyi dangdut koplo dalam pertunjukannya. 

"Awalnya saya pikir, kehadiran penyanyi dangdut bisa menarik perhatian penonton pemula, agar mereka mau menonton wayang. Nyatanya, mereka hanya bertahan ketika ada pertunjukan musik. Berarti ndak ada efek positif seperti yang saya harapkan semula. Nah, sementara para penonton setia saya mulai mengeluh tentang kehadiran para penyanyi dangdut di atas pentas, mendampingi para pesinden. 

Saya berpikir, berarti kehadiran penyanyi dangdut itu hanya ngriwuki pagelaran wayang. Mereka juga bilang, bahwa pertunjukan musik campursari dan kendang kempul itu tidak menjadi soal, asalkan yang menyanyikan cukup para pesinden. Dari situ, kemudian saya sadar bahwa kehadiran penyanyi dangdut bukanlah kewajiban yang harus dituruti. Akhirnya, setiap mau pentas, saya ngomong dulu pada tuan rumah agar tidak usah memakai penyanyi dangdut. 

Ndilalah (ternyata, pen), ada sebagian penanggap yang memang meminta saya tidak membawa penyanyi dangdut dari luar pesinden. Alasan mereka bukanlah alasan ekonomi, tetapi para penyanyi itu ngriwuki keagungan pagelaran wayang kulit. Untuk wilayah Semboro, ada beberapa penanggap yang sepakat, tetapi juga ada yang tetap meminta penyanyi dangdut. Sementara di beberapa wilayah Umbulsari, termasuk Gading Rejo, memang sudah bisa diterapkan." (Wawancara, 28 Juni 2009)

Penjelasan Siswo Utomo tersebut menandakan adanya proses pengendapan dan pemikiran kritis dari seorang dalang terhadap konsepsi dan praktik yang dijalani selama ini. Keliaran-keliaran estetik yang ia lakoni demi memuaskan hasrat transformatif para penonton muda ternyata tidak mampu membuatnya puas. 

Peran seorang dalang yang bukan semata-mata sebagai penghibur, tetapi juga tukang tutur, mendorongnya untuk kembali menyuguhkan pertunjukan wayang dan musik yang tetap mengedepankan unsur perfoma kejawaan. Akhirnya, pertunjukan musik pembuka, limbukan, dan goro-goro dalam pertunjukannya dinyanyikan oleh para pesinden, tanpa penyanyi dangdut.

Seorang pesinden duet dengan seorang penggemar menyanyikan lagu
Seorang pesinden duet dengan seorang penggemar menyanyikan lagu "Rondo Kempling" dalam pertunjukan wayang di Desa Sidomekar, Kec. Semboro. Dok. Pribadi
Pertunjukan musik full pesinden ternyata tetap disukai oleh penonton baik yang muda maupun yang tua. Pagelaran yang pada prinsipnya murni menghibur bisa diterima bahkan oleh penonton dari generasi tua, karena para pesinden yang berpakaian Jawa. Pakaian sebagai salah satu penanda kultural ternyata mampu 'mengalahkan' ketidaksukaan penonton generasi tua terhadap pagelaran musik yang selama ini menampilkan penyanyi dangdut koplo. 

Kehadiran pesinden dengan lagu campursari maupun kendang kempul juga lebih bisa terterima karena pada masa lampau para pesinden juga menyanyikan gending-gending ketika limbukan dan goro-goro. Kastur, penonton wayang berusia lima puluh tahunan dari Babatan Semboro, mengungkapkan: 

"Dangdut yang itu sebenarnya tidak sesuai untuk wayang kulit, apalagi para penyanyinya yang berpakaian 'kayak gitu‘ (pen, seksi). Benar-benar njomplang (pen, tidak sesuai). Tapi, ya, gimana lagi, memang sudah ombak-nya zaman. Anak-anak muda sekarang memang suka dangdut. Kalau saya memang lebih suka yang klasik-klasik, yang tradisional, karena pengalaman masa kecil saya kalau nonton wayang, ya yang klasik-klasik itu. 

Susahnya, dalang sekarang itu tidak ada lagi yang memainkan wayang kayak zaman dulu lagi. Terlalu banyak lagunya, ceritanya tidak ketemu. Ya, kalaupun banyak lagunya, ndak pa-pa, yang penting yang nyanyi itu pesinden. Kalau pesinden yang nyanyi, kesan Jawa-nya tetep ada. Lebih sopan, ndak urakan. Saya bisa betah nonton wayang." (Wawancara 28 Juni 2009)

Meskipun ada perbedaan jenis lagu yang dinyanyikan, nuansa tradisional yang diusung campursari dan kendang kempul tetap sesuai dengan selera generasi tua. Persoalan kehadiran drum, gitar, bass, maupun irama koplo dalam musik pengiring, rupa-rupanya tidak menjadi masalah serius, senyampang pesinden tetap berada pada garis-garis kesopanan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun