Dalam konteks di atas, apakah layak untuk dikatakan bahwa wayang telah kehilangan jati diri dan terhegemoni oleh kuasa diskursif modernitas melalui improvisasi-improvisasi yang jelas-jelas melampaui batas-batas kewajaran pakem? Pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab hanya dalam satu perspektif karena berkaitan dengan beberapa persoalan kultural masyarakat desa saat ini.Â
Para dalang memang tengah menikmati proses terhegemoni industri budaya yang selalu menawarkan kebaruan dan kecepatan estetik sebagai ideologi pertunjukannya. Para dalang memang tidak bisa menolak untuk tidak mengakomodasi 'teriakan' penonton muda yang sedang bergelora dan bersemangat dalam menyongsong pergeseran nilai dan norma dalam masyarakat lokal.Â
Ketika mengabaikan semua tuntutan itu, tentu saja, mereka akan kehilangan pemasukan finansial sebagai sumber ekonomi untuk mengupah para sinden, pengrawit, hingga dirinya sendiri. Namun, para dalang juga tidak mau sepenuhnya kehilangan orientasi tradisional, terutama karakteristik wayang.Â
Maka, kita menjumpai realitas hibriditas kultural yang ada dalam masyarakat melalui proses yang cukup kompleks dan rumit. Hasilnya memang luar biasa, budaya-budaya yang ada mampu melebur, meskipun dengan suasana yang menyakitkan karena harus kehilangan sebagian besar karakteristik kulturalnya.Â
Para dalang memang tidak lagi ditindas oleh penjajah, namun penjajah itu muncul dalam bentuk baru, budaya pop-industrial dan ragam produk internet, yang mengurangi harapan hidup kesenian, sehingga mereka harus melakukan percampuran yang diharapkan mampu memunculkan kembali minat masyarakat untuk menonton, meskipun harus melakukan rekayasa pakem sembari melepas sebagian aspek yang selama ini dicintai.Â
Namun, sekali lagi, apakah rekayasa pakem tersebut menandakan ketidakberdayaan para dalang untuk masuk ke dalam hegemoni industri budaya pop? Apakah itu semua menyakitkan bagi para dalang? Iya, kalau memang hegemoni diartikan sebagai proses kuasa tanpa koersif dengan menghadirkan konsensus dari kelas subordinat (dalam hal ini dalang) melalui penggunaan produk-produk kultural yang dianggap milik bersama.Â
Tidak menyakitkan, karena para dalang memiliki kesadaran untuk bersikap adaptif terhadap perkembangan dan pergeseran orientasi kultural masyarakat desa. Apa yang perlu dicatat adalah selalu ada negosiasi yang terus berlanjut dalam proses hegemonik di mana kelas subordinat tidak serta-merta tunduk. Para dalang berusaha terus menegosiasikan kepentingan ekonomi dan kultural yang mereka impikan dan yakini dalam laku kehidupan.Â
Mereka menggunakan sebagian produk industri budaya untuk meneruskan perjuangan di ranah kreatif, sehingga menunjukkan "ketertundukan sekaligus ketidaktertundukan": berhasil dikuasai tetapi tidak sepenuhnya dikuasai. Tradisi besar estetik seni modern yang mengutamakan kecepatan dan kebaruan diganggu dengan tampilan estetik hibrid ala wayang yang memunculkan percampuran antara kebenaran subjektif tradisi dan kebenaran subjektif budaya modern: "kehadiran masa lalu dalam masa kini".Â
Di tengah-tengah medan budaya pascakolonial yang dipenuhi tradisi besar modernitas, para dalang tengah bermain-main dengan tradisi untuk terus menunjukkan eksistensinya dalam pemahaman ganda modernitas dan tradisonalitas sembari mengganggu kemapanan hegemoni modernitas sekaligus melakukan pembacaan ulang tradisionalitas untuk menghasilkan budaya hibrid.Â
Mengadopsi pemikiran Sangari (1995: 144-145) tentang penulis hibrid kita bisa menemukan realitas keterbukaan para dalang terhadap dua dunia dan terkonstruksi di dalam sesuatu yang bersifat nasional dan internasional. Ada kebutuhan untuk berbicara tentang budaya Jawa dan budaya bangsa, tetapi juga tidak bisa mengabaikan budaya asing yang pengaruhnya cukup kuat. Â
Ketika dalang berparadigma hibrid, mereka bisa memahami dan mempertanyakan kedua dunia sembari menyiasari tekanan yang mereka rasakan. Mereka bisa memasukkan budaya modern ke dalam pertunjukan wayang, meskipun itu berarti mengakui dan meniru serta membawa masuk yang "modern" ke dalam "yang tradisional".Â