Para dalang menerima pesan tersebut melalui SMS atau secarik kertas. Biasanya mereka juga menerima bingkisan berupa rokok yang dikhususkan bagi dalang. Dalang biasanya membaginya dengan para pengrawit. Lagu-lagu yang akan disajikan berasal dari permintaan-permintaan tersebut.Â
Semua pesinden dan penyanyi dangdut akan mendapatkan giliran untuk menyanyikan lagu. Mereka bisa menyanyikannya solo, berdua, ataupun duet dengan penyanyi laki-laki yang berasal dari tamu, penonton, atau wiraswara. Sebelum menyanyi, dalang akan berbasa-basi dengan penyanyi, sekedar menanyakan keadaannya. Terkadang celetukan-celetukan genit dari pesinden keluar dalam dialog singkat tersebut, menjadikan suasana semakin gayeng.Â
Semata-mata hiburan adalah istilah yang tepat untuk mendeskripsikan pertunjukan cangik limbuk. Para tamu yang diundang untuk menyanyikan lagu bersama penyanyi atau pesinden, terkadang ada yang napel (memberi uang kepada pesinden atau penyanyi). Adapun jumlahnya tergantung kepada si tamu.
Segala keadiluhungan cerita wayang yang dijadikan tuntunan orang Jawa, sejenak 'diporak-porandakan' oleh hasrat untuk memuaskan diri dalam keliaran-keliaran estetik oleh para pendukungnya sendiri.Â
Estetika wayang yang pada masa lampau dipertontonkan semalam suntuk dengan jedah cangik limbuk dan goro-roro, pada masa  kini berubah menjadi pertunjukan wayang di mana unsur lakon ceritanya hanya berlangsung selama tiga jam dan unsur hiburannya empat jam.Â
Pagelaran musik sebelum jejer, cangik limbuk, dan goro-goro, adalah permainan "di ruang antara pertunjukan" yang mensubversi secara langsung segala tatanan diskursif dari tradisi wayang sebagai budaya luhur Jawa.Â
Harapan-harapan normatif agar wayang dimainkan secara baik dan sesuai pakem yang diwariskan nenek moyang serta dimasuki pengaruh kolonial nilai-nilai filosofis, nyatanya memang mudah sekali ditunda dan dimaknai secara liar oleh para senimannya sendiri.Â
Hibridisasi kultural yang melingkupi pola pikir dan praktik kultural masyarakat desa Jawa di Jember sebagai pendukung atau pewaris pasif wayang telah menjadikan pertunjukan wayang diwarnai dengan artikulasi-artikulasi dari budaya-budaya dominan yang sedang berkembang.Â
Dalam kondisi-kondisi itulah, wayang kulit mesti dibicarakan, bukan lagi semata-mata sebagai warisan yang mesti dilestarikan dalam kemandegan pakem, tetapi dalam kedinamisan proses sosio-kultural yang mempengaruhi estetikanya.Â
Dalam improvisasi estetik-hibrid, sangat mungkin terjadi proses hilangnya sebagian nilai-nilai kearifan filosofis Jawa dan digantikan oleh estetika hiburan yang lebih kental.Â
RENEGOSIASI TRADISI: MENIADAKAN PENYANYI DANGDUTÂ