Modernitas memang tidak sanggup membatasi dirinya dari kemungkinan dekonstrusi yang dilakukan oleh para seniman lokal yang tengah membaca modernitas itu sendiri. Kesenian industrial yang sudah dikonsumsi sehari-hari masyarakat desa, dibaca-ulang oleh para dalang sebagai peluang untuk 'dimasuki' dan digunakan menggelorakan-kembali pertunjukan wayang kulit.Â
Para dalang, dengan demikian, telah menunjukkan pembacaan subversif dalam konteks pascakolonial dengan menunjukkan ironi dari kemapanan narasi besar modernitas yang selalu ditonjolkan sebagai kebenaran mutlak yang harus diikuti oleh umat manusia di belahan dunia manapun ketika mereka ingin dikatakan maju: selalu ada potensi subversif dari dalam yang dilakukan melalui siasat estetik (Hutcheon, 1995: 133).
Para dalang, bagaimanapun juga, tengah masuk ke dalam wacana dan praktik modernitas yang serba disiplin dengan orientasi produk-produk budayanya. Alih-laih ikut memapankan kebenaran produk budaya tersebut di tengah-tengah masyarakat, para dalang justru memanfaatkannya untuk kepentingan mereka agar bisa survive.Â
Juga, menunjukkan bahwa produk estetik industrial sekalipun bisa 'dicuri' dan digunakan balik untuk menyerangnya melalui percampuran dengan budaya lokal. Keunggulan produk budaya modern diganggu bukan dimusuhi, bukan melalui peniadaan tetapi penggunaan yang bertujuan bukan untuk kemapanan budaya modern, tetapi kontestasi wayang.Â
MENENTUKAN SIKAP Di TENGAH PERUBAHAN BUDAYA
Sebagai daerah yang secara administratif masuk ke dalam wilayah Jawa Timur, Jember, secara kultural ternyata tidak sama dengan wilayah-wilayah lain yang memang sudah memiliki karakteristik partikular dalam hal budaya. Hal serupa juga terjadi dalam wayang kulit. Ketika daerah-daerah lain, seperti Kediri, Malang, Surabaya, Jombang, Sidoarjo, dan Lamongan, mengembangkan gaya pewayangannya sendiri, para dalang di Jember ternyata lebih berkiblat ke gaya Surakarta.Â
Kondisi ini, paling tidak, disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sebagian besar komunitas Jawa di Jember bagian Selatan dan Barat memang berasal dari migran Mataraman, Surakarta dan Ngayogkarta, serta wilayah-wilayah Jawa Timur yang dekat dengan Jawa Tengah.Â
Kedua, beberapa dalang muda di Jember menimba ilmu pewayangan langsung dari Solo. Kedua faktor itulah yang secara estetik mengikat gaya pewayangan dari para dalang di Jember, meskipun dalam perkembangannya mereka juga tidak sepenuhnya mengambil dari gaya Surakarta.Â
Sampai dengan era 90-an awal, pakem, baik dalam hal cerita maupun struktur estetik pertunjukan, masih menjadi orientasi bagi para dalang dalam menggelar pertunjukan. Cerita yang bersumber dari kisah Mahabarata dan Ramayana menjadi suguhan setiap kali ada pertunjukan wayang.Â
Pada masa itu, banyak penonton rela begadang sampai "byar" (matahari terbit) hanya untuk menikmati adegan dan dialog yang dimainkan oleh para dalang karena pada masa itu memang belum terlalu banyak hiburan bagi wong ndeso di Jember, kecuali acara-acara di TVRI dan pertujukan kesenian rakyat lainnya.Â
Di Jember sendiri, pada masa ini, terdapat beberapa dalang yang serius dalam melakoni pakem dan menceritakan kisah-kisah epos, seperti (Alm) Mbah Gombloh yang berasal dari Semboro. Keterikatan pada pakem sebenarnya lebih dikarenakan selera kultural masyarakat yang memang belum banyak dipengaruhi oleh wacana dan produk industri budaya pop sehingga apapun yang disuguhkan para dalang akan tetap menarik untuk dinikmati.Â