Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nonton Wayang atau Dangdut? Perubahan Budaya dan Siasat Pertunjukan

15 Januari 2022   05:00 Diperbarui: 22 Januari 2022   05:43 2159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang penyanyi dangdut membuka pertunjukan wayang di Desa Semboro, 31 Mei 2009. Dok. Pribadi

Para dalang menerima pesan tersebut melalui SMS atau secarik kertas. Biasanya mereka juga menerima bingkisan berupa rokok yang dikhususkan bagi dalang. Dalang biasanya membaginya dengan para pengrawit. Lagu-lagu yang akan disajikan berasal dari permintaan-permintaan tersebut. 

Semua pesinden dan penyanyi dangdut akan mendapatkan giliran untuk menyanyikan lagu. Mereka bisa menyanyikannya solo, berdua, ataupun duet dengan penyanyi laki-laki yang berasal dari tamu, penonton, atau wiraswara. Sebelum menyanyi, dalang akan berbasa-basi dengan penyanyi, sekedar menanyakan keadaannya. Terkadang celetukan-celetukan genit dari pesinden keluar dalam dialog singkat tersebut, menjadikan suasana semakin gayeng. 

Semata-mata hiburan adalah istilah yang tepat untuk mendeskripsikan pertunjukan cangik limbuk. Para tamu yang diundang untuk menyanyikan lagu bersama penyanyi atau pesinden, terkadang ada yang napel (memberi uang kepada pesinden atau penyanyi). Adapun jumlahnya tergantung kepada si tamu.

Dua penyanyi menyanyikan
Dua penyanyi menyanyikan "Belah Duren" diiringi musik koplo dalam pertunjukan wayang di Desa Semboro, 20 Juni 2009. Dok. Pribadi
Segala keadiluhungan cerita wayang yang dijadikan tuntunan orang Jawa, sejenak 'diporak-porandakan' oleh hasrat untuk memuaskan diri dalam keliaran-keliaran estetik oleh para pendukungnya sendiri. 

Estetika wayang yang pada masa lampau dipertontonkan semalam suntuk dengan jedah cangik limbuk dan goro-roro, pada masa  kini berubah menjadi pertunjukan wayang di mana unsur lakon ceritanya hanya berlangsung selama tiga jam dan unsur hiburannya empat jam. 

Pagelaran musik sebelum jejer, cangik limbuk, dan goro-goro, adalah permainan "di ruang antara pertunjukan" yang mensubversi secara langsung segala tatanan diskursif dari tradisi wayang sebagai budaya luhur Jawa. 

Harapan-harapan normatif agar wayang dimainkan secara baik dan sesuai pakem yang diwariskan nenek moyang serta dimasuki pengaruh kolonial nilai-nilai filosofis, nyatanya memang mudah sekali ditunda dan dimaknai secara liar oleh para senimannya sendiri. 

Hibridisasi kultural yang melingkupi pola pikir dan praktik kultural masyarakat desa Jawa di Jember sebagai pendukung atau pewaris pasif wayang telah menjadikan pertunjukan wayang diwarnai dengan artikulasi-artikulasi dari budaya-budaya dominan yang sedang berkembang. 

Dalam kondisi-kondisi itulah, wayang kulit mesti dibicarakan, bukan lagi semata-mata sebagai warisan yang mesti dilestarikan dalam kemandegan pakem, tetapi dalam kedinamisan proses sosio-kultural yang mempengaruhi estetikanya. 

Dalam improvisasi estetik-hibrid, sangat mungkin terjadi proses hilangnya sebagian nilai-nilai kearifan filosofis Jawa dan digantikan oleh estetika hiburan yang lebih kental. 

RENEGOSIASI TRADISI: MENIADAKAN PENYANYI DANGDUT 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun