Duduk bersebelahan dengan para sinden, para penyanyi dangdut dengan pakaian khas yang serba minim. Para pengrawit dengan pakaian Jawa lengkap juga sudah siap dengan instrumennya masing-masing. Para pemusik juga memegang alat masing-masing, meskipun pakaian mereka tidak njawani, tetapi tetap seragam.Â
Ketika semua sudah siap, maka wiraswara atau MC akan segera membuka pagelaran. Dengan bahasa Jawa alus, MC menyapa tuan rumah sembari mengucapkan terima kasih serta tidak lupa menyapa para penonton. Para penonton yang terdiri dari anak-anak SD, kaum muda, hingga yang tua, laki-laki dan perempuan, berkumpul di depan panggung, siap menikmati hiburan.Â
Kehadiran pertunjukan musik sebelum jejer menunjukkan perubahan dramatis dari sebuah pagelaran wayang kulit karena selama ini jejer dengan suluk dalang dianggap sangat sakral dan menjadi syarat wajib. Dengan digelarnya pertunjukan musik pembuka, maka kesakralan tersebut tergantikan oleh hingar-bingar tembang, dentuman musik, dan goyang pinggul para penyanyi.Â
Namun, itu semua memang tidak berlangsung lama, hanya sekira satu jam pertunjukan. Lagi pula, inilah cara untuk menarik perhatian penonton agar segera berkumpul di depan panggung.Â
Salah satu dari pesinden biasanya akan dipersilakan menyanyi terlebih dahulu, bukannya penyanyi dangdut. Lagu campursari yang sudah populer di masyarakat menjadi pilihan tembang untuk dipersembahkan kepada penonton. Lagu seperti Perahu Layar, Nyidam Sari, Wuyung, Sewu Kutho, dan beberapa lagu lainnya, biasanya menjadi pilihan.Â
Pada pembukaan, para pengrawit biasanya ikut mengiringi dengan alunan nada gamelan dan kendang yang menonjol. Namun, sampai di tengah-tengah lagu, para pemusik segera mengambil kendali musik dengan memasukkan instrumen-instrumen modern seperti gitar, kibor, bass, drum, dan ketipung.Â
Musik segera berganti menjadi koplo yang menghangatkan suasana malam dan batin penonton. Koplo akan terus dimainkan sampai lagu berakhir. Meskipun musik koplo sangatlah rancak, beda dengan karawitan atau musik campursari standar, pesinden yang sedang menyanyi sudah mempunyai aturan-aturan normatif untuk tidak bergoyang berlebihan. Gaya panggung mereka tetaplah berada dalam garis kesantunan Jawa.Â
Konteks kultur yang melekat pada diri mereka, terepresentasikan dalam pakaian yang dikenakan, rupa-rupanya ikut memberikan batasan-batasan yang secara sadar tidak dilanggar. Mereka sadar bahwa mereka juga akan nembang (mengiringi lakon wayang) sebagai bagian integral dari pagelaran wayang. Hal itu pula yang membedakan mereka dengan penyanyi dangdut.Â
Hal kontras ditampilkan oleh penyanyi dangdut yang berpakaian minim dan bergoyang ala Inul. Meskipun berpakaian mini, mereka juga masih mengenakan stocking untuk menutupi kaki. Rata-rata mereka adalah gadis remaja yang masih duduk di SMA atau bahkan ada yang di SMP. Beberapa juga sudah lulus SMA.Â
Ketika MC mempersilahkan mereka naik ke pentas, maka musik dangdut menyambut kehadiran mereka. Lagu-lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu dangdut, kendang kempul, dan pop-industrial dari band terkenal Jakarta. Tanpa rasa canggung berada dalam ruang beratmosfer Jawa yang sebenarnya penuh nuansa alus, mereka menyapa bernyanyi dan bergoyang mengikuti irama koplo.
Atraksi penyanyi di atas menghadirkan kontras dalam hal estetika pertunjukan wayang. Background wayang yang tradisional seakan menjadi setting dari atraksi modernitas yang tidak terbendung lagi di tengah-tengah ruang kultural desa. Sesaat, ekspresi Jawa wayang seolah-olah 'diambil alih' dan 'ditundukkan' oleh ekspresi koplo: panggung tengah menjadi milik penyanyi tersebut.Â